Bagaimana Jika dua buah cerpen di baca dalam satu waktu dan dalam satu sususan cerita? Bagaimana pula ketika dua buah cerpen dengan judul berbeda di gabungkan menjadi satu kesatuan cerita? Penasaran bagaimana jadinya? Jangan lupa, hadiri:
Pembacan Cerpen oleh Endik Koeswoyo
Panggung Utama Bazar Wisata Ramadhan 2008
Monumen Serangan Umum 01 Maret, Taman Selatan Museum Benteng Vederburg :: Hari Sabtu Tanggal, 04-10-2008
Judul Cerpen: Kabut Menjelang Lebaran & Angin Kencang Dan Kepulangannya
Acara Pendukung:
Live Musik: Capucino Band, Penggalangan Dana Pendidikan Untuk Anak-anak Yatim Piatu, disalurkan melalui Rumah Zakat Yogyakarta, Game dan Door Prize dari Starone
MC: Anggita
Sonsor Utama: Star One
Di Dukung Oleh: Arpro Supporting Media Promotion, Maha Java Production, Pemprov DIY, Baparda DIY, RRI Pro 2 Yogyakarta, Kedaulan Rakyat, TA TV.
Terimakasih Kepada: STARONE, YOKO FASHION, ROTI MARIYAM ABA-ABI, INDO RASA, NAJMINA GERAI KOMPLIT, BATIK LURIK KURNIA, HONDA TUNAS JAYA, ELKEN INTERNATIONAL (BIO PURE WATER), PASTA AJAIB PELANGI, MISTER BURGER, ESTELER 77, TVS MOTOR, ROTI DIKA, WARUNG NASI AMPERA BENTENG VEDERBURG, dll.
Kabut Menjelang Lebaran
Oleh: Endik Koeswoyo
Aku sendiri tak tahu yang pertama, tapi ini ada yang kedua. Bukan berarti aku menyalahi aturan, namun itulah aku yang akan datang kapan saja tapi pasti. Membawa sebuah cerita lama tanpa bertanya apakah itu indah…
Sore itu kabut menyelimuti lembah yang berlumpur. Seorang pemuda terdiam duduk diatas sebuah batu besar yang tentunya keras. Burung-burung kutilang kecil hinggap di kakinya yang berlumpur. Tangannya memegang sebuah foto yang telah pudar warnanya, mungkin terkikis oleh keringat. Kabut yang turun semakin pekat membelai apa saja yang sebenarnya enggan untuk dibelai oleh sang-kabut. Matanya yang redup dipaksakan melihat aliran sungai yang berlumpur, walaupun hujan tak turun namun dapat terasa air mengalir diantara wajahnya yang memang redup.
Matanya tak pernah lepas memandang foto usang yang selalu dibawanya kemana pun dia pergi. Nampak jelas dia sedang menunggu sang-angin yang membawa salam rindu dari seorang yang memang dirindukannya. Menunggu langit gelap yang membawa senyum yang sedang dihatinya. Menunggu daun-daun yang membawa bisikan-bisikan sayang dari orang yang disayanginya. Namun kabut tak juga beranjak pergi sedangkan langit sebentar lagi gelap. Matanya menerawang jauh, jauh sekali sampai dia sendiri tidak tahu kemana arah itu. Burung-burung kutilang tak lagi hinggap di kakinya, mereka telah pulang keperaduannya diatas pohon yang daunnya telah berguguran. Sekian lama dia tak beranjak dari tempat itu. Dia pun ingin pulang ke peraduannya bersama gadis cantik yang melayaninya saat dia ingin bercumbu, dengan aroma khas yang belum pernah dia rasakan.
Hujan turun tak begitu deras, di tutupinya foto usang tersebut dengan kain hitam yang dikeluarkan dari saku jeans-nya lalu di masukan lagi. Dia berdiri namun tak meninggalkan batu besar itu. Berputar arah menghadap utara tegak lurus dengan bayangan pohon yang telah tumbang. Entah dia sadar atau tidak dikeluarkannya lagi foto yang telah terbungkus kain hitam dari sakunya. Dibukanya kain penutup itu dan dia tersenyum mengamati seorang pemuda tampan mengenakan jas warna biru sedang mengendong bayi kecil yang lucu tentunya, disampingnya berdiri seorang gadis memakai baju kekuningan dengan rambut sebahu. Ditutupnya foto itu namun tak dimasukan kesakunya seperti tadi.
Dia beranjak diremang senja yang berkabut. Dia tahu bahwa malam sudah menjelma. Namun dia tidak perduli, disibaknya malam dengan hati yang pilu, diraihnya bintang yang terlihat samar. Disebuah tempat yang dia sendiri tidak tahu apa namanya, dibukanya lagi kain hitam yang menutupi foto itu. Direbahkan tubuhnya begitu saja lalu menaruhnya didada. Dia tak mampu menemukan ujung kabut dan tak akan pernah tahu, kapan akan bersama seperti dalam foto itu. Sedangkan gelombang pasang memisahkan mereka dan hanya meninggalkan lumpur-lumpur yang entah kapan akan hilang. (Endik Koeswoyo)
Di Tempat Lain...
Angin Kencang Dan Kepulanganya
Oleh: Teguh T-Koes Wicaksono (Alm)
Ia telah pulang, ia telah kembali. Langkahnya agak pelan dan ragu melintasi jalan yang lengang, panas serta angin keringnya terlalu liar menyapu debu-debu untuk terbang ke langit yang tiada mega. Perasaannya kini mulai kalut, lalu langkah kakinya dipercepat. Dan kini yang ia saksikan pemandangan hamparan rumah-rumah tetangganya dulu yang kian tak terawat. Hatinyapun semakin bertanya-tanya, dimana mereka, dimana kawan-kawanku dulu, kenapa dengan dusun ini… tak satupun manusia yang dia lihat. Dusun telah kosong dan Mati. Sungguh kampung halaman yang dulu permai dan kini telah mati.
Kembali ia mengrenyitkan dahi, memutar dugaan-dugaan sampai yang terjelek. Lalu pikiranya memutar lagi seperti sedia kala, sebelum ia berangkat meninggalkan dusun tercinta. Duduk dan meletakkan tas-tas besar bermacam oleh-oleh khas Malaya, lemas ia seperti tersungkur saja. Bersandar dibekas runtuhan tugu perbatasan, menerima terpaan angin yang membawa debu dan daun-daun kering.
Tak sampai semenit kegelisahannya memaksa kaki capek untuk menelusuri jalan berbatu, sambil terus dihujani daun-daun kering tak pernah ia berpapasan dengan seorangpun. Kerisauan yang menjadi-jadi menggetarkan reflek untuk berlari sekuat tenaga. Terus berlari hingga membasahi baju-bajunya yang sedikit aneh khas kota. Keinginan dan fisiknya tidak sama, ia pun berhenti merogoh tas untuk minum beberapa teguk air kemasan. Tasnya terbuka lebar sehingga beberapa daun menerobos masuk, sambil mengeluarkan daun-daun itu ia kembali bergegas menuju cabang jalan yang lebih kecil. Semakin terlihat ketidak mengertian dari wajah pucat nan basah itu, semakin dalam pula ia mengendalikan gelisah besar. Sekedar ingin cepat sampai dan mendorong gagang pintu gubuknya walau juga mirip dengan rumah.
Lamunan tentang Bapak-Emaknya terus bergelanyut. Oh.., hati bimbang dan pohon flamboyan kering, terus mengawasi walau tinggal ranting-ranting. Anginpun kembali bertiup kencang, daun-daun kering kembali berjatuhan, menyisakan pandangan hingga ujung dari rumah yang paling ujung. Diantara langkah kakinya terganjal rasa was-was tentang sepucuk surat tanpa tuan yang memaksa jiwanya untuk memikirkan dan ingat dari mana ia berasal.
Kisah ini disebuah jalan yang sunyi, kisah ini tentang kegelisahan hebatnya, juga tentang beribu pertanyaan apakah ia akan hadir dalam kepulangannya. Matahari tepat diatas kepala sedangkan bayangannya bersembunyi dibawah busana seksi.
Betapa indah sebuah pertemuan. Wajah emaknya juga sempat tersenyum seperti sedia kala, saat melepas kepergian bersama andongnya mbah Akhad ke Setasiun Kereta. Delapan tahun yang lalu saat ia belum mengerti apa-apa tentang Jakarta. (teguh T-Koes Wicaksono)
*SEKIAN*
Posting Komentar untuk "PEMBACAAN CERPEN OLEH: ENDIK KOESWOYO"
Terimakasih Sudah Bersedia Membaca, tuliskan komentar anda dan saya akan berkunjung ke blog anda...