Ketika Hujan dan Panas Dipertemukan di Kota Bogor
Tengah hari baru saja terlewatkan. Aku masih terdiam, mengamati hujan yang tiba-tiba dating tak di Undang. Nyelonong tanpa permisi. Aku terdiam, duduk disudut masjid, mengamti titik hujan dan gemericiknya yang begitu indah secara tiba-tiba. Langit tak mendung, tak juga pekat apalagi hitam. Langit indah kebiruan, tepat di tanggal 1 Juni. Aku jadi teringat, pidato Soekarno, bukan soal pancasila yang aku ingat, tapi soal perkawinan, begini petikan pidato itu:
-----Saudara-saudara, tadi saya berkata, ada perbeaan antara Sovyet Rusia, Saudi Arabia, Inggris, Amerika dan lain-lain tentang isinya: tetapi ada satu yang sama, yaitu rakyat Saudi Arabia sanggup mempertahankan negaranya. Musyik-musyik di Rusia sanggup mempertahankan negaranya. Rakyat Amerika sanggup mempertahankan negaranya. Rakyat Inggris sanggup mempertahankan negaranya. Inilah yang menjadi minimum-eis. Artinya, kalau ada kecakapan yang lain, tentu lebih baik, tetapi manakala sesuatu bangsa telah sanggup mempertahankan negaranya dengan darahnya sendiri, dengan dagingnya sendiri, pada saat itu bangsa itu telah masak untuk kemerdekaan. Kalau bangsa kita, Indonesia, walaupun dengan bambu runcing, saudara-saudara, semua siap-sedia mati, mempertahankan tanah air kita Indonesia, pada saat itu bangsa Indonesia adalah siap-sedia, masak untuk Merdeka. (Tepuk tangan riuh)
Cobalah pikirkan hal ini dengan memperbandingkannya dengan manusia. Manusia pun demikian, saudara-saudara! Ibaratnya, kemerdekaan saya bandingkan dengan perkawinan. Ada yang berani kawin, lekas berani kawin, ada yang takut kawin. Ada yang berkata Ah, saya belum berani kawin, tunggu dulu gaji f500. Kalau saya sudah mempunyai rumah gedung, sudah ada permadani, sudah ada lampu listrik, sudah mempunyai tempat tidur yang mentul-mentul, sudah mempunyai meja kursi, yang selengkap-lengkapnya, sudah mempunyai sendok garpu perak satu set, sudah mempunyai ini dan itu, bahkan sudah mempunyai kinder-uitzet, barulah saya berani kawin.
Ada orang lain yang berkata: saya sudah berani kawin kalau saya sudah mempunyai meja satu, kursi empat, yaitu “meja makan”, lantas satu sitje, lantas satu tempat tidur.
Ada orang yang lebih berani lagi dari itu, yaitu saudara-saudara Marhaen! Kalau dia sudah mempunyai gubug saja dengan satu tikar, dengan satu periuk: dia kawin. Marhaen dengan satu tikar, satu gubug: kawin. Sang klerk dengan satu meja, empat kursi, satu zitje, satu tempat tidur: kawin.
Sang Ndoro yang mempunyai rumah gedung, electrische kookplaat, tempat tidur, uang bertimbun-timbun: kawin. Belum tentu mana yang lebih gelukkig, belum tentu mana yang lebih bahagia, Sang Ndoro dengan tempat-tidurnya yang mentul-mentul, atau Sarinem dn Samiun yang hanya mempunyai satu tikar dan satu periuk, saudara-saudara! (tepuk tangan, dan tertawa).
Tekad hatinya yang perlu, tekad hatinya Samiun kawin dengan satu tikar dan satu periuk, dan hati Sang Ndoro yang baru berani kawin kalau sudah mempunyai gerozilver satu kaset plus kinderuitzet, buat 3 tahun lamanya! (tertawa)
Saudara-saudara, soalnya adalah demikian: kita ini berani merdeka atau tidak? Inilah, saudara-saudara sekalian. Paduka tuan Ketua yang mulia, ukuran saya yang terlebih dulu saya kemukakan sebelum saya bicarakan hal-hal yang mengenai dasarnya satu negara yang merdeka. Saya mendengar uraian PT Soetardjo beberapa hari yang lalu, tatkala menjawab apakah yang dinamakan merdeka, beliau mengatakan: kalau tiap-tiap orang di dalam hatinya telah merdeka, itulah kemerdekan Saudara-saudara, jika tiap-tiap orang Indonesia yang 70 milyun ini lebih dulu harus merdeka di dalam hatinya, sebelum kita dapat mencapai political independence, saya ulangi lagi, sampai lebur kiamat kita belum dapat Indonesia merdeka! (tepuk tangan riuh)----
Di depan sidang BPUPKI, Sang Proklamator muda itu menyinggung tentang perkwaninan, mengibaratkannya dengan begitu indah. Aku suka gaya bicaranya. Aku suka tutur katanya, dan kadang kala aku tersenyum membaca teks-teks pidato Bung Karno yang begitu menggelitik, menusuk dan kadang kala menohok namun sering kali bikin tersenyum. Kenapa saya suka bagian perkawinan ketimbang pidoto tentang Pancasila? Entahlah, yang jelas hati ini sedang rindu. Merindukanmu.
Hujan masih sama, turun rintik-rintik. Hati ini begitu gelisah, menggebu untuk segera bertemu. Ah sudahlah… aku mencintaimu, kamu tau itu. Aku sayang padamu, kamu juga tau. Jaga cinta ini jauh di dalam hatimu karena aku juga menjaga cinta ini rapat di dalam hati, tak perlu aku ungkapkan karena engkau telah tau. Tak perlu aku ucapkan karena engkau telah mendengar hati kecilku mengataknnya padamu. Terkadang cinta tak jauh berbeda dengan hujan, bisa saja dia bersanding dengan panas. Terkadang cinta seperti rubik, bisa begitu mudah menemukan rumus-rumus pada setiap sisi, namun kadang begitu sulit jika kita tak mau belajar tentang rubik itu sendiri. Jangan takut kehilangan, karena cintaku tak jauh beda dengan rubik, walau kadang tak sama warnanya, engkau sudah bisa merubahnya dan engkau telah tau rumus rubik itu. Cintaku padamu tak beda dengan hujan, walau panas datang hujan masih juga tetap bisa turun dank au tau? Ketika hujan dan panas bersamaan? “Ohhhh begitu indahnya alam ini”
Kembali aku kutip pidato Bung Karno ---Ada orang lain yang berkata: saya sudah berani kawin kalau saya sudah mempunyai meja satu, kursi empat, yaitu “meja makan”, lantas satu sitje, lantas satu tempat tidur.--- sekali lagi bukan tentang rumusan Pancasila, tapi lebih kepada perkawinan yang diungkapkannya. Unik bukan? Tapi aku lebih berani dari Marhaen, aku akan menikahi tanpa harus menunggu punya gubuk dan tikar satu dan periuk. ---Ada orang yang lebih berani lagi dari itu, yaitu saudara-saudara Marhaen! Kalau dia sudah mempunyai gubug saja dengan satu tikar, dengan satu periuk: dia kawin.--- Tanpa gubug, tanpa tikar dan tak perlu periuk, cukuplah sudah modal aku untuk menikahimu dengan apa yang dianugrahkan tuhan kepada kita sebagai umat, tak perlu periuk karena kita bisa beli makan di luar… tak perlu gubuk karena bisa beli rumah yang indah seperti apa yang kita impikan. Tak perlu tikar, karena sekarang sudah ada Spring Bed 4 x 4 yang empuk mendut-mendut walau kadang berisik. Tapi aku suka kasur kapuk, ga berisik. (Hahhahahahah)
Salam Budaya:Endik KoeswoyoJl. Swadaya 604 Yogyakarta.email: endik_penulis@yahoo.comPhone: 0817 323 345Mari Mencintai Indonesia Apa AdanyaMANFAATKAN BLOG ANDA DENGAN MENGIKUTI KUMPUL BLOGER
Tengah hari baru saja terlewatkan. Aku masih terdiam, mengamati hujan yang tiba-tiba dating tak di Undang. Nyelonong tanpa permisi. Aku terdiam, duduk disudut masjid, mengamti titik hujan dan gemericiknya yang begitu indah secara tiba-tiba. Langit tak mendung, tak juga pekat apalagi hitam. Langit indah kebiruan, tepat di tanggal 1 Juni. Aku jadi teringat, pidato Soekarno, bukan soal pancasila yang aku ingat, tapi soal perkawinan, begini petikan pidato itu:
-----Saudara-saudara, tadi saya berkata, ada perbeaan antara Sovyet Rusia, Saudi Arabia, Inggris, Amerika dan lain-lain tentang isinya: tetapi ada satu yang sama, yaitu rakyat Saudi Arabia sanggup mempertahankan negaranya. Musyik-musyik di Rusia sanggup mempertahankan negaranya. Rakyat Amerika sanggup mempertahankan negaranya. Rakyat Inggris sanggup mempertahankan negaranya. Inilah yang menjadi minimum-eis. Artinya, kalau ada kecakapan yang lain, tentu lebih baik, tetapi manakala sesuatu bangsa telah sanggup mempertahankan negaranya dengan darahnya sendiri, dengan dagingnya sendiri, pada saat itu bangsa itu telah masak untuk kemerdekaan. Kalau bangsa kita, Indonesia, walaupun dengan bambu runcing, saudara-saudara, semua siap-sedia mati, mempertahankan tanah air kita Indonesia, pada saat itu bangsa Indonesia adalah siap-sedia, masak untuk Merdeka. (Tepuk tangan riuh)
Cobalah pikirkan hal ini dengan memperbandingkannya dengan manusia. Manusia pun demikian, saudara-saudara! Ibaratnya, kemerdekaan saya bandingkan dengan perkawinan. Ada yang berani kawin, lekas berani kawin, ada yang takut kawin. Ada yang berkata Ah, saya belum berani kawin, tunggu dulu gaji f500. Kalau saya sudah mempunyai rumah gedung, sudah ada permadani, sudah ada lampu listrik, sudah mempunyai tempat tidur yang mentul-mentul, sudah mempunyai meja kursi, yang selengkap-lengkapnya, sudah mempunyai sendok garpu perak satu set, sudah mempunyai ini dan itu, bahkan sudah mempunyai kinder-uitzet, barulah saya berani kawin.
Ada orang lain yang berkata: saya sudah berani kawin kalau saya sudah mempunyai meja satu, kursi empat, yaitu “meja makan”, lantas satu sitje, lantas satu tempat tidur.
Ada orang yang lebih berani lagi dari itu, yaitu saudara-saudara Marhaen! Kalau dia sudah mempunyai gubug saja dengan satu tikar, dengan satu periuk: dia kawin. Marhaen dengan satu tikar, satu gubug: kawin. Sang klerk dengan satu meja, empat kursi, satu zitje, satu tempat tidur: kawin.
Sang Ndoro yang mempunyai rumah gedung, electrische kookplaat, tempat tidur, uang bertimbun-timbun: kawin. Belum tentu mana yang lebih gelukkig, belum tentu mana yang lebih bahagia, Sang Ndoro dengan tempat-tidurnya yang mentul-mentul, atau Sarinem dn Samiun yang hanya mempunyai satu tikar dan satu periuk, saudara-saudara! (tepuk tangan, dan tertawa).
Tekad hatinya yang perlu, tekad hatinya Samiun kawin dengan satu tikar dan satu periuk, dan hati Sang Ndoro yang baru berani kawin kalau sudah mempunyai gerozilver satu kaset plus kinderuitzet, buat 3 tahun lamanya! (tertawa)
Saudara-saudara, soalnya adalah demikian: kita ini berani merdeka atau tidak? Inilah, saudara-saudara sekalian. Paduka tuan Ketua yang mulia, ukuran saya yang terlebih dulu saya kemukakan sebelum saya bicarakan hal-hal yang mengenai dasarnya satu negara yang merdeka. Saya mendengar uraian PT Soetardjo beberapa hari yang lalu, tatkala menjawab apakah yang dinamakan merdeka, beliau mengatakan: kalau tiap-tiap orang di dalam hatinya telah merdeka, itulah kemerdekan Saudara-saudara, jika tiap-tiap orang Indonesia yang 70 milyun ini lebih dulu harus merdeka di dalam hatinya, sebelum kita dapat mencapai political independence, saya ulangi lagi, sampai lebur kiamat kita belum dapat Indonesia merdeka! (tepuk tangan riuh)----
Di depan sidang BPUPKI, Sang Proklamator muda itu menyinggung tentang perkwaninan, mengibaratkannya dengan begitu indah. Aku suka gaya bicaranya. Aku suka tutur katanya, dan kadang kala aku tersenyum membaca teks-teks pidato Bung Karno yang begitu menggelitik, menusuk dan kadang kala menohok namun sering kali bikin tersenyum. Kenapa saya suka bagian perkawinan ketimbang pidoto tentang Pancasila? Entahlah, yang jelas hati ini sedang rindu. Merindukanmu.
Hujan masih sama, turun rintik-rintik. Hati ini begitu gelisah, menggebu untuk segera bertemu. Ah sudahlah… aku mencintaimu, kamu tau itu. Aku sayang padamu, kamu juga tau. Jaga cinta ini jauh di dalam hatimu karena aku juga menjaga cinta ini rapat di dalam hati, tak perlu aku ungkapkan karena engkau telah tau. Tak perlu aku ucapkan karena engkau telah mendengar hati kecilku mengataknnya padamu. Terkadang cinta tak jauh berbeda dengan hujan, bisa saja dia bersanding dengan panas. Terkadang cinta seperti rubik, bisa begitu mudah menemukan rumus-rumus pada setiap sisi, namun kadang begitu sulit jika kita tak mau belajar tentang rubik itu sendiri. Jangan takut kehilangan, karena cintaku tak jauh beda dengan rubik, walau kadang tak sama warnanya, engkau sudah bisa merubahnya dan engkau telah tau rumus rubik itu. Cintaku padamu tak beda dengan hujan, walau panas datang hujan masih juga tetap bisa turun dank au tau? Ketika hujan dan panas bersamaan? “Ohhhh begitu indahnya alam ini”
Kembali aku kutip pidato Bung Karno ---Ada orang lain yang berkata: saya sudah berani kawin kalau saya sudah mempunyai meja satu, kursi empat, yaitu “meja makan”, lantas satu sitje, lantas satu tempat tidur.--- sekali lagi bukan tentang rumusan Pancasila, tapi lebih kepada perkawinan yang diungkapkannya. Unik bukan? Tapi aku lebih berani dari Marhaen, aku akan menikahi tanpa harus menunggu punya gubuk dan tikar satu dan periuk. ---Ada orang yang lebih berani lagi dari itu, yaitu saudara-saudara Marhaen! Kalau dia sudah mempunyai gubug saja dengan satu tikar, dengan satu periuk: dia kawin.--- Tanpa gubug, tanpa tikar dan tak perlu periuk, cukuplah sudah modal aku untuk menikahimu dengan apa yang dianugrahkan tuhan kepada kita sebagai umat, tak perlu periuk karena kita bisa beli makan di luar… tak perlu gubuk karena bisa beli rumah yang indah seperti apa yang kita impikan. Tak perlu tikar, karena sekarang sudah ada Spring Bed 4 x 4 yang empuk mendut-mendut walau kadang berisik. Tapi aku suka kasur kapuk, ga berisik. (Hahhahahahah)
Salam Budaya:Endik KoeswoyoJl. Swadaya 604 Yogyakarta.email: endik_penulis@yahoo.comPhone: 0817 323 345Mari Mencintai Indonesia Apa AdanyaMANFAATKAN BLOG ANDA DENGAN MENGIKUTI KUMPUL BLOGER
Posting Komentar untuk "Ketika Hujan dan Panas Dipertmukan di Kota Bogor"
Terimakasih Sudah Bersedia Membaca, tuliskan komentar anda dan saya akan berkunjung ke blog anda...