Hari ke 51 di tanah perantauan
#Bukti Cinta
Lama, bahkan bisa dikatakan lama sekali dan layak pula disebut lama banget rasanya. Walau kata banget sebenarnya tidak aku suka. 15 Juni aku meninggalkan Jogja dengan segala keindahannya, sahabat, teman, kekasih hingga mobil kesayangan itu harus ditinggalkan begitu saja. Tanpa persiapan yang matang, tanpa perhitungan yang jeli, langsung berangkat begitu saja meninggalkan semua yang tercinta. Apa yang terjadi? Terjadilah. Semua kejadian, baik itu indah, pahit, sedih dan emosi muncul silih berganti. Dari kehujanan malam hari, sampe kebanjiran menjelang subuh hingga laptop, bb dan handphone mati total. But…. Oyeah… itulah hidup kawan, itu dilakukan demi cinta. Tidak hanya aku sendiri yang mengalami hal itu, banyak sahabatku di sini yang sering kusebut sebagai ‘pejuang cinta’ mengalami hal yang sama. Memendam rindu untuk keluaraga tercinta, untuk anak tercinta, untuk ibu tercinta, keluarga tercinta bahkan tetangga tercinta. Oh ya satu lagi, ada yang meninggalkan Tiga istri tercintanya, aw aw aw….
Samarinda sebulan penuh, dari tanggal 15 Juni hingga tanggal 15 Juli, tanpa kenangan indah, kecuali 5 menit di depan ATM BNI (Lihat catatan sebelumnya. Red). Bontang dari tanggal 16 Juni hingga 27 Juni, pahit baik dari segi lahir dan batin. Balikpapan, kota ketiga ini sudah mulai menyenangkan ada pantai di belakang rumah kontrakan walau kalau pagi kadang-kadang takut karena ombaknya sampai di bawah rumah ketika pasang. Ya indah, lampu-lampu kapal begitu indah dengan pantulannya ke air laut yang bergelombang kecil. Bintang, rembulan dan matahari sore tak perlu lagi aku melukiskan keindahannya.
Tiket pulang ke Jogja belum jadi terpegang hari ini karena uang yang masuk baru malam hari dan aku tidak sempat ke Bank. Tentang cinta? Ah masih sama, hanya rasa rindu yang menjadi raja dalam hati. Oh maaf, saya kok malah curhat? OK OK, kita mulai kisah ini dengan tema sebuah kaos putih. Ada apa dengan kaos putih itu? Begini kisahnya….
Mal Matahari Balikpapan, aku berjalan dengan tenang, dengan senyum dan tatapan mata ramah. Tapi aku tidak sendiri, ada lelaki tegap yang layaknya Bodyguard berjalan di sampingku. Bukan-bukan, dia bukan Bodyguardku kok, aku bukan artis atau pejabat yang butuh pengawalan. Hem coklat, celana kain hitam itu aku padu dengan spatu kulit coklat baru yang aku dapat dari seorang ‘penggemar’ novelku. Mungkin karena tubuh sahabatku itu atletis yang membuat dirinya layak disebut bodyguard.
“Asem, aku koyok bodyguardmu wae!” kata temanku tiba-tiba sambil mempercepat langkahnya dan kini benar-benar sejajar denganku.
Aku diam, hanya meliriknya sambil tersenyum. Tujuan kami hanyalah melepas penat setelah seharian di lokasi pameran. Cuci mata, atau barangkali memang ingin jalan-jalan biar tau kota Balikpapan lebih jauh. Mal menjadi tujuan utama karena yang kami tau hanya mall itu yang terdekat. Escalator demi escalator kami naiki, hingga sampai ke Matahari yang entah itu lantai berapa.
Aneh memang malam ini, tiba-tiba saja aku ingin membeli celana jeans, rompi pesanan kekasih dan entah juga tiba-tiba aku menjuhut dua buah kaos putih bertuliskan LO dan VE jadi kalau digabung jadi LOVE. “Pret!” gumanku dalam hati ketika menyandingkannya dan membentuk kalimat LOVE. Bukan kalimat itu yang membuatku tertarik membelinya, tapi karena harganya hanya 19.000,- perpotong. Bukan soal LOVE atau apalah artinya. “Loh ke mana ‘Bodyguard-ku’? Eh …Kemana temanku tadi? Hilang ke mana dia?” aku tengok kanan dan kiri. Sementara wanita cantik di depanku masih sibuk melayani seorang pembeli lagi.
“Maaf kak, bayarnya pakai kartu atau cash?” suara itu mengagetkanku.
“Kartu debit bisa?” gayaku berlagak walau saldo atmku tinggal 150.000.
“Maaf kak, sudah ofline karena 5 menit lagi kita sudah tutup,” sahutnya meminta maaf sambil melontarkan sisa-sisa senyum manisnya yang sudah mulai getir. Capek seharian tersenyum dengan ratusan orang, dan itu senyum tak tulus.
“Oh… cash juga taka pa-apa, tapi kalau cashnya ga cukup, ga papakan kalau tidak dibeli semua?” aku menunjuk 5 item yang sudah mulai dihitungnya.
“Iya Kak,” sahutnya ramah, sekali lagi ramah yang dibuat-buat.
Aku masih celingukan mencari sahabatku yang tak kelihatan batang hidupnya. Di mana? Ke mana? Ngapain sih?
Oh itu dia datang, dengan langkah tegapnya menghampiriku. Tubuhnya atletis, otot-ototnya kelihatan macho dengan kaos ketat yang pakainya. Kalau dari jauh dia mirip-mirip Fauzi Baadilah. Sumpah.
“Koas?” tanyaku padanya.
Sahabatku tak menjawab, dia memilih-milih kaos yang harganya 19.000,- tadi. Sebuah kaos dipilihnya lalu diberikan padaku dan aku teruskan ke kasir yang sama. “Satu lagi mbak,” lanjutku.
Gadis itu menatapku tajam, seperti mengingat-ingat seseorang, atau dia lebih tertarik dengan sahabatku yang pendiam itu? Entahlah. Kini aku tinggal berhadapan dengannya sendiri, sahabatku sudah mundur beberapa langkah, menepi pada jarah yang pas untuk tetap mengamatiku.
“Itu pengawalnya ya mas?” Tanya mbak kasir itu tiba-tiba.
Aku menoleh kanan kiri, tidak ada orang lain. Masak dia memangilku mas? Bukankah matahari identi memanggil kosumen mudanya dengan panggilan ‘Kakak’. Sekali lagi aku memastikan.
“Ehmm saya?” aku menunjuk diriku sendiri.
“Iya mas, kayaknya wajah mas ga asing deh,” lanjutnya mulai berani.
Aku sekali lagi menengok kanan-kiri. Sepi, mungkin sudah mulai diusir oleh security mall. Karena jam tangan TEC bajakan yang aku kenakan sudah menunjukkan puluk 22.02 WITA. Mall seharusnya sudah tutup. Dan wajar jika mbak kasir berani memanggilku ‘mas’ kami sekarang sudah diluar jam kerja.
“Teman, bukan bodyguard,” sahutku pelan sembari menatapnya sesaat. Cantik.
Senyumnya kini lebih tulus, wajah lelahnya mulai merona merah ketika mata kami beradu pandang.
“Itu dari tadi mengamati mas terus,” katanya sekali lagi.
“Oh… ya ga papa to?” sahutku sekenanya.
“460.500 mas, adakan cashnya?” dia memastikan sekali lagi sebelum menekan tombol enter sebagai tanda setuju.
“Insyaallah,” aku membuka tas notebook kecilku, lalu menjuhut uang sekenanya, lalu menyodorkan padanya.
“Satu, dua, tiga, empat, lima. Limaratus ya mas uangnya,” katanya penuh pasti.
Tombol enter ditekannya dengan pasti. Bunyi mesin printer khas mall itu menjadi penanda usainya transaksi kami.
“Maaf mas, kembaliannya tidak ada!” dia tampak bingung karena uang yang tersisa semuanya pecahan 50 dan 100 ribuan.
“Letsgo Broo, kita pulang!” kata shabatku yang mungkin sudah tak sabar menunggu.
Aku tak menjawab, langsung saja kusahut tas palstik warna hijau tua itu. Dan aku ikuti langkah sahabtku yang mirip bodyguard itu.
“Kak? Kak?”
Panggilan itu tidak aku hiraukan, kami terus melangkah menuju pintu keluar, menuruni escalator hingga sampai dilantai bawah. Melangkah menuju ke jalan raya, menunggu angkutan.
“Melawai Pak?” Tanya sahabatku pada sopir angkot yang berhenti karena kami melambaikan tangan. Pertanyaan itu hanya dijawab dengan anggukan.
Tak lebih dari 10 menit kami sudah tiba di tujuan.
“Ngopi dulu deh!” gumanku pelan setelah turun dari angkot.
“Boleh,” sahutnya antusias.
Sudut agak remang, kursi plastik dan alunan musik agak keras melantun dari gerobak kecil di trotoar jalan itu. Rame juga, cukup untuk hiburan tambahan. Kopi dan capucino kami pesan. Belum datang pesanan itu, seorang gadis berseragam putih tulang tiba-tiba berdiri tepat disampingku. Menyodorkan sesuatu padaku. Belum sempat hilang rasa kagetku, sahabtku yang tadi sudah mendahuli untuk menerima sodoran gadis itu.
“Apa ini?” Tanya sahabatku.
“Uang kembalian yang tadi, maaf mengganggu, saya permisi.” Dia langsung menjauh, menuju sebuah mobil yang berhenti tak jauh dari tempat duduk kami.
“Apa tuh?” tanyaku setela mobil Avansa hitam itu menghilang pada tikungan berikutnya.
“Nota sama uang kembalian, memang tadi kurang kembaliannya?” Tanya sahabatku memastikan.
“Iya,” sahutku sembari menghitung uang kembalian itu. “Satu, dua… 39.500.-“ kemudian kuletakkan uang itu di meja plastik.
“Hei, ada nomer HP!” sahabatku menjuhut nota belanja itu.
Di balik nota itu ada sebait nama dan sebaris angka-angka, nomer handphone. Kuamati sekali lagi, benar, nama dan nomer handphone. Pasti ini milik gadis itu. Perang batin berkecamuk, jika aku ambil ponsel dan aku menelphonenya, pasti lumayan bisa buat teman ngobrol. Dan tidak menutup kemungkinan aku bisa makan malam dengannya, atau malah…. Ah tidak. Aku punya kakekasih hati. Aku tadi membelikannya kaos putih dan rompi sebagai oleh-oleh. Tidak-tidak, aku tidak boleh mendua. Walau aku tau, mencintai bukan berarti tak menduakan. Mencintai itu mudah, tapi yang sulit itu menjadi setia. Mencintai itu gampang, tapi yang sulit adalah tidak tertarik kepada wanita lain. Aku remas nota itu, lalu melemparnya ke laut.
Salam Budaya:Endik KoeswoyoJl. Swadaya 604 Yogyakarta.email: endik_penulis@yahoo.comPhone: 0817 323 345Mari Mencintai Indonesia Apa AdanyaMANFAATKAN BLOG ANDA DENGAN MENGIKUTI KUMPUL BLOGER
#Bukti Cinta
Lama, bahkan bisa dikatakan lama sekali dan layak pula disebut lama banget rasanya. Walau kata banget sebenarnya tidak aku suka. 15 Juni aku meninggalkan Jogja dengan segala keindahannya, sahabat, teman, kekasih hingga mobil kesayangan itu harus ditinggalkan begitu saja. Tanpa persiapan yang matang, tanpa perhitungan yang jeli, langsung berangkat begitu saja meninggalkan semua yang tercinta. Apa yang terjadi? Terjadilah. Semua kejadian, baik itu indah, pahit, sedih dan emosi muncul silih berganti. Dari kehujanan malam hari, sampe kebanjiran menjelang subuh hingga laptop, bb dan handphone mati total. But…. Oyeah… itulah hidup kawan, itu dilakukan demi cinta. Tidak hanya aku sendiri yang mengalami hal itu, banyak sahabatku di sini yang sering kusebut sebagai ‘pejuang cinta’ mengalami hal yang sama. Memendam rindu untuk keluaraga tercinta, untuk anak tercinta, untuk ibu tercinta, keluarga tercinta bahkan tetangga tercinta. Oh ya satu lagi, ada yang meninggalkan Tiga istri tercintanya, aw aw aw….
Samarinda sebulan penuh, dari tanggal 15 Juni hingga tanggal 15 Juli, tanpa kenangan indah, kecuali 5 menit di depan ATM BNI (Lihat catatan sebelumnya. Red). Bontang dari tanggal 16 Juni hingga 27 Juni, pahit baik dari segi lahir dan batin. Balikpapan, kota ketiga ini sudah mulai menyenangkan ada pantai di belakang rumah kontrakan walau kalau pagi kadang-kadang takut karena ombaknya sampai di bawah rumah ketika pasang. Ya indah, lampu-lampu kapal begitu indah dengan pantulannya ke air laut yang bergelombang kecil. Bintang, rembulan dan matahari sore tak perlu lagi aku melukiskan keindahannya.
Tiket pulang ke Jogja belum jadi terpegang hari ini karena uang yang masuk baru malam hari dan aku tidak sempat ke Bank. Tentang cinta? Ah masih sama, hanya rasa rindu yang menjadi raja dalam hati. Oh maaf, saya kok malah curhat? OK OK, kita mulai kisah ini dengan tema sebuah kaos putih. Ada apa dengan kaos putih itu? Begini kisahnya….
Mal Matahari Balikpapan, aku berjalan dengan tenang, dengan senyum dan tatapan mata ramah. Tapi aku tidak sendiri, ada lelaki tegap yang layaknya Bodyguard berjalan di sampingku. Bukan-bukan, dia bukan Bodyguardku kok, aku bukan artis atau pejabat yang butuh pengawalan. Hem coklat, celana kain hitam itu aku padu dengan spatu kulit coklat baru yang aku dapat dari seorang ‘penggemar’ novelku. Mungkin karena tubuh sahabatku itu atletis yang membuat dirinya layak disebut bodyguard.
“Asem, aku koyok bodyguardmu wae!” kata temanku tiba-tiba sambil mempercepat langkahnya dan kini benar-benar sejajar denganku.
Aku diam, hanya meliriknya sambil tersenyum. Tujuan kami hanyalah melepas penat setelah seharian di lokasi pameran. Cuci mata, atau barangkali memang ingin jalan-jalan biar tau kota Balikpapan lebih jauh. Mal menjadi tujuan utama karena yang kami tau hanya mall itu yang terdekat. Escalator demi escalator kami naiki, hingga sampai ke Matahari yang entah itu lantai berapa.
Aneh memang malam ini, tiba-tiba saja aku ingin membeli celana jeans, rompi pesanan kekasih dan entah juga tiba-tiba aku menjuhut dua buah kaos putih bertuliskan LO dan VE jadi kalau digabung jadi LOVE. “Pret!” gumanku dalam hati ketika menyandingkannya dan membentuk kalimat LOVE. Bukan kalimat itu yang membuatku tertarik membelinya, tapi karena harganya hanya 19.000,- perpotong. Bukan soal LOVE atau apalah artinya. “Loh ke mana ‘Bodyguard-ku’? Eh …Kemana temanku tadi? Hilang ke mana dia?” aku tengok kanan dan kiri. Sementara wanita cantik di depanku masih sibuk melayani seorang pembeli lagi.
“Maaf kak, bayarnya pakai kartu atau cash?” suara itu mengagetkanku.
“Kartu debit bisa?” gayaku berlagak walau saldo atmku tinggal 150.000.
“Maaf kak, sudah ofline karena 5 menit lagi kita sudah tutup,” sahutnya meminta maaf sambil melontarkan sisa-sisa senyum manisnya yang sudah mulai getir. Capek seharian tersenyum dengan ratusan orang, dan itu senyum tak tulus.
“Oh… cash juga taka pa-apa, tapi kalau cashnya ga cukup, ga papakan kalau tidak dibeli semua?” aku menunjuk 5 item yang sudah mulai dihitungnya.
“Iya Kak,” sahutnya ramah, sekali lagi ramah yang dibuat-buat.
Aku masih celingukan mencari sahabatku yang tak kelihatan batang hidupnya. Di mana? Ke mana? Ngapain sih?
Oh itu dia datang, dengan langkah tegapnya menghampiriku. Tubuhnya atletis, otot-ototnya kelihatan macho dengan kaos ketat yang pakainya. Kalau dari jauh dia mirip-mirip Fauzi Baadilah. Sumpah.
“Koas?” tanyaku padanya.
Sahabatku tak menjawab, dia memilih-milih kaos yang harganya 19.000,- tadi. Sebuah kaos dipilihnya lalu diberikan padaku dan aku teruskan ke kasir yang sama. “Satu lagi mbak,” lanjutku.
Gadis itu menatapku tajam, seperti mengingat-ingat seseorang, atau dia lebih tertarik dengan sahabatku yang pendiam itu? Entahlah. Kini aku tinggal berhadapan dengannya sendiri, sahabatku sudah mundur beberapa langkah, menepi pada jarah yang pas untuk tetap mengamatiku.
“Itu pengawalnya ya mas?” Tanya mbak kasir itu tiba-tiba.
Aku menoleh kanan kiri, tidak ada orang lain. Masak dia memangilku mas? Bukankah matahari identi memanggil kosumen mudanya dengan panggilan ‘Kakak’. Sekali lagi aku memastikan.
“Ehmm saya?” aku menunjuk diriku sendiri.
“Iya mas, kayaknya wajah mas ga asing deh,” lanjutnya mulai berani.
Aku sekali lagi menengok kanan-kiri. Sepi, mungkin sudah mulai diusir oleh security mall. Karena jam tangan TEC bajakan yang aku kenakan sudah menunjukkan puluk 22.02 WITA. Mall seharusnya sudah tutup. Dan wajar jika mbak kasir berani memanggilku ‘mas’ kami sekarang sudah diluar jam kerja.
“Teman, bukan bodyguard,” sahutku pelan sembari menatapnya sesaat. Cantik.
Senyumnya kini lebih tulus, wajah lelahnya mulai merona merah ketika mata kami beradu pandang.
“Itu dari tadi mengamati mas terus,” katanya sekali lagi.
“Oh… ya ga papa to?” sahutku sekenanya.
“460.500 mas, adakan cashnya?” dia memastikan sekali lagi sebelum menekan tombol enter sebagai tanda setuju.
“Insyaallah,” aku membuka tas notebook kecilku, lalu menjuhut uang sekenanya, lalu menyodorkan padanya.
“Satu, dua, tiga, empat, lima. Limaratus ya mas uangnya,” katanya penuh pasti.
Tombol enter ditekannya dengan pasti. Bunyi mesin printer khas mall itu menjadi penanda usainya transaksi kami.
“Maaf mas, kembaliannya tidak ada!” dia tampak bingung karena uang yang tersisa semuanya pecahan 50 dan 100 ribuan.
“Letsgo Broo, kita pulang!” kata shabatku yang mungkin sudah tak sabar menunggu.
Aku tak menjawab, langsung saja kusahut tas palstik warna hijau tua itu. Dan aku ikuti langkah sahabtku yang mirip bodyguard itu.
“Kak? Kak?”
Panggilan itu tidak aku hiraukan, kami terus melangkah menuju pintu keluar, menuruni escalator hingga sampai dilantai bawah. Melangkah menuju ke jalan raya, menunggu angkutan.
“Melawai Pak?” Tanya sahabatku pada sopir angkot yang berhenti karena kami melambaikan tangan. Pertanyaan itu hanya dijawab dengan anggukan.
Tak lebih dari 10 menit kami sudah tiba di tujuan.
“Ngopi dulu deh!” gumanku pelan setelah turun dari angkot.
“Boleh,” sahutnya antusias.
Sudut agak remang, kursi plastik dan alunan musik agak keras melantun dari gerobak kecil di trotoar jalan itu. Rame juga, cukup untuk hiburan tambahan. Kopi dan capucino kami pesan. Belum datang pesanan itu, seorang gadis berseragam putih tulang tiba-tiba berdiri tepat disampingku. Menyodorkan sesuatu padaku. Belum sempat hilang rasa kagetku, sahabtku yang tadi sudah mendahuli untuk menerima sodoran gadis itu.
“Apa ini?” Tanya sahabatku.
“Uang kembalian yang tadi, maaf mengganggu, saya permisi.” Dia langsung menjauh, menuju sebuah mobil yang berhenti tak jauh dari tempat duduk kami.
“Apa tuh?” tanyaku setela mobil Avansa hitam itu menghilang pada tikungan berikutnya.
“Nota sama uang kembalian, memang tadi kurang kembaliannya?” Tanya sahabatku memastikan.
“Iya,” sahutku sembari menghitung uang kembalian itu. “Satu, dua… 39.500.-“ kemudian kuletakkan uang itu di meja plastik.
“Hei, ada nomer HP!” sahabatku menjuhut nota belanja itu.
Di balik nota itu ada sebait nama dan sebaris angka-angka, nomer handphone. Kuamati sekali lagi, benar, nama dan nomer handphone. Pasti ini milik gadis itu. Perang batin berkecamuk, jika aku ambil ponsel dan aku menelphonenya, pasti lumayan bisa buat teman ngobrol. Dan tidak menutup kemungkinan aku bisa makan malam dengannya, atau malah…. Ah tidak. Aku punya kakekasih hati. Aku tadi membelikannya kaos putih dan rompi sebagai oleh-oleh. Tidak-tidak, aku tidak boleh mendua. Walau aku tau, mencintai bukan berarti tak menduakan. Mencintai itu mudah, tapi yang sulit itu menjadi setia. Mencintai itu gampang, tapi yang sulit adalah tidak tertarik kepada wanita lain. Aku remas nota itu, lalu melemparnya ke laut.
Salam Budaya:Endik KoeswoyoJl. Swadaya 604 Yogyakarta.email: endik_penulis@yahoo.comPhone: 0817 323 345Mari Mencintai Indonesia Apa AdanyaMANFAATKAN BLOG ANDA DENGAN MENGIKUTI KUMPUL BLOGER
Posting Komentar untuk "Hari ke 51 di tanah perantauan"
Terimakasih Sudah Bersedia Membaca, tuliskan komentar anda dan saya akan berkunjung ke blog anda...