Cerpen: "Teringat lebaran 20 tahun yang lalu ketika aku merajuk dan umurku masih 8 tahun lebih sedikit"
Malam Takbiran aku habiskan di Masjid, aku adalah penabuh bedug cilik paling handal di kampungku walau ngajiku tak pernah nambah dari Iqro 2. Malam itu, seperti biasanya, hanya sandal jepit yang sudah beberapa kali putus namun aku sambung lagi dengan peniti di bagian sampratnya yang aku kenakan. Maklum, selain jalan setapak menuju ke rumah itu itu licin, aku memang jarang beli sandal baru. “Lebih baik beli beras,” kata Mak Tua.
Malam Takbiran itu aku habiskan di Masjid, walau sebelumnya aku menyempat diri untuk memanen rambutan milik Pak Rajak beberapa jam sebelumnya. Oh ya, Pak Rajak itu pensiunan Jenderal yang punya tanah yang luas di kampungku. Walau jaraknya lebih dari satu kilo dari Masjid, rambutan itu jadi sasaran kami. Maksudnya kami adalah aku dan beberapa sahabatku yang nakalnya sudah takketulungan lagi. Salak, Rambutan, Duren semua pernah kami sikat habis. Oh ya, bahkan aku sering kali memetik buah jeruknya Pak Rajak untuk aku jual di sekolahan… wakakkaka…. Keren ya…. Atau ironis?
Malam itu, kutabuh bedug dengan suka cita walau hatiku menangis, aku belum punya baju baru dan sandal baru. Besok lebaran. “Besok Mak belikan sandal di pasar, sama klanting ya Le….” (Klanting itu jajanan pasar kesukaanku). Begitulah Mak Tua mengatakannya beberapa hari yang lalu. Aku sempat ngamuk-ngamuk, mecah piring dan melempar gelas gara-gara sandal dan baju baru itu takkunjung datang.
Malam itu kutabuh bedug dengan keras, amarah dan iri kepada teman-teman kampungku yang sudah punya sandal baru. Mereka sudah pada pamer sandal dan baju baru. Beberapa hari yang lalu, kutagih lagi janji Mak Tua. Mak Tua tak memberi jawaban dia tau kalau aku adalah sosok pendendam. Diam namun punya kemauan yang keras. Jika yang dijanjikan Mak Tua tak kunjung datang, bisa-bisa perabotan rumah habis aku buang.
Malam itu aku tak pulang, dan aku memang tak ingin pulang. Rumahku jauh dari Masjid, 15 menit jalan kaki via jalan setapak, licin, tanpa lampu dan begitu sepi. Tak ada rumah-rumah di sepanjang jalan. Konon, di dekat pohon kelapa itu angker. Apalagi rimbunnya pohon bambu, sungguh membuat bulu kuduk berdiri. Jika malam mulai menjelang, phon-pohon cengkeh yang tingginya di atas 6 meter itu menjulang melambai laiknya gendruwo yang sedang berbaris. Bahkan jika aku pulang kemalaman aku akan berlari sekencang mungkin karena takut. Sering kali aku terpeleset jatuh, pantatku sakitnya bukan kepalang, tapi aku tak menangis.
Malam itu kutabuh bedug dengan keras, setiap pukulan demi pukulan selalu aku nikmati sebagai sebuah dendam kesumat melumatkan dendam di hati. “Aku harus bisa punya kebun buah seperti milik Pak Rajak, aku harus punya mobil seperti mobilnya Pak Son, aku harus punya sepeda motor seperti punya Mas Agung!” begitulah umpatku dalam hati.
Malam itu kutabuh terus bedug itu. tanganku mulai kaku, lecet dan mulai terasa perih. Tapi aku takperduli. Aku muak dengan semua bentuk kemiskinan ini. Aku protes pada Tuhan yang namanya dikumandangkan sejak sore tadi. “Jika Engkau ada, kenapa tak mengirimkan sandal dan baju baru buatku?”
“Le, pulang yuk… Mak sudah belikan sandal dan baju buatmu. Ayo pulang,”
Aku menoleh, wajah lelah Mak Tua membuatku berhenti memukul bedug. Mak Tua menyeka keringat di jidatku. Tangannya dengan lembut meraih pemukul bedug dan meletakkannya begitu saja di lantai. Aku masih merajuk walau aku dengan pelan mengikuti langkah Mak Tua menuju jalan pulang. Obor dinyalakan setelah kami cukup jauh dari Masjid Baitul Mukmin milik Haji Nandar itu. Hening, Mak Tua tak bicara, akupun memilih diam sebelum melihat sandal dan baju baru itu.
Gema Takbir masih kudengar dengan jelas walau semakin lama semakin lirih suaranya. Jalanan menurun itu kami telusuri dengan mata terpicing yang bergelut dengan pekatnya malam. Cukup lama, bahkan lebih dari 15 menit kami baru sampai rumah tua, reyot, tiang-tiangnya dari bamboo apus, dindingnya juga dari bambu. Bahkan penerangan kami pulang adalah obor dari bambu juga. Mak Tua mematikan obornya setelah membuka pintu rumah yang digembok dan diikat dengan rantai itu. Bunyi rantai besi memecah kesunyian malam.
Rumah itu kecil, hanya ruang tamu dengan meja kayu, sebuah kursi tamu dari kayu yang panjang dan sebuah dipan cukup besar di sudut yang lainnya. Lampu minyak dari kaleng Tiodan itu dinyalakan oleh nenek dengan korek Kempu kuno yang entah sudah berapa tahun umurnya. Lampu menyala redup, kulihat bungkusan plastik kresek warna hitam di atas meja. Mak Tua menepati janjinya, sebuah baju dengan celana jeans panjang, sandal jepit baru. Sesuai dengan janjinya. Aku suka. Kau tersenyum lalu mencobanya.
Aku memeluk bungkusan itu, bukan memeluk nenek. Bahkan tidurpun aku memeluknya sembari membayangkan besok aku akan keliling kampung, ke rumah Mbak Joyo, Mbah Sati, Mak Nah, Pak Sarmin dan tentu saja rumah Pak Yit. Merekalah yang selalu member uang jika ada anak-anak datang berkunjung. Tak peduli berapa jauh rumah-rumah itu, aku akan mendatanginya dengan segera. Ya, begitulah rencanaku esok hari. Mencari uang sebanyak-banyaknya untuk bisa beli buku baru. Aku harus jadi pinter, aku harus jadi pinter.
“Tidur Le, kamu harus sekolah yang rajin, biar besok jadi orang pinter. Orang pinter itu temannya juga orang pinter.” Pesan Mak Tua sembari memelukku.
***
Kini aku terdiam di sudut ruangan, tepatnya dapur. Di rumah megah calon istriku. Rumah dengan keramik di sana-sini, bukan gubuk bambu seperti milik Mak Tua yang kini telah menjadi satu dengan tanah. Gema Takbir berkumandang lantang, bunyi petasan bertalu-talu. Aku terdiam, menangis… aku ingat Mak Tua yang sudah meninggal 7 tahun yang lalu. Ingin sekali aku mengajaknya keliling kampung dengan mobilku itu. Ingin rasanya aku membelikan kalung emas untuknya.
“Mak, umurku sudah 28 tahun, walau kuliahku belum bisa beres tapi aku sudah kenal banyak orang Pinter seperti cita-citamu. Aku pernah ketemu Mamik Prakoso, yang dulu sering kita lihat di tivinya Mbak Santik, aku pernah ketemu Gogon yang dulu juga sering kita lihat di televisi hitam putih itu. Oh ya Mak, aku juga sering BB-man sama Enno Lerian, yang dulu setiap hari minggu kita lihat di televisinya Mbak Santik juga. Aku juga pernah syuting bareng Jenderal S. Parman yang itu lo Mak, yang di Film G30 S/PKI. Yang kita lihat di televisinya Mbak Santik juga. Mak… aku sekarang sudah gemuk, pipiku tembem, bahkan calon mantumu itu sering memanggilku Ndut… Mak…Mak…. Aku punya laptop, punya handphone 2 buah. Handphone canggih Mak, bisa buat chating. Tadi aku sempat Chating sama Monty Tiwa, Agung Sentausa, Fajar Nugross… Ah Mak Pasti ndak kenal, mereka sutradara Mak. Mak… aku juga pernah sms-an sama Fira Basuki, penulis buku Mak, yang dulu bukunya pernah aku tunjukkan ke Mak. Mak…. Aku kangen…. Di sini aku mulai bahagia… semoga Mak Juga bahagia di Surga sana…. Oh ya Mak, aku pernah ke rumahnya Pak Manthous, yang lagunya Mak senengin itu, Yati Pesek juga pernah ketemu loch Mak, malah dulu sempat makan di rumahnya Bu Yati Pesek itu. Mak… maafkan kenalakanku ya Mak, maafkan aku cucumu ini…. Aku selalu berdoa untukmu Mak… tanpamu mungkin aku tak akan jadi sekarang ini… hanya terimakasih dan lantunan doa yang selalu aku kirimkan untukmu… ”
--Kebumen 11 September 2010--
Salam Budaya:Endik KoeswoyoJl. Swadaya 604 Yogyakarta.email: endik_penulis@yahoo.comPhone: 0817 323 345Mari Mencintai Indonesia Apa AdanyaMANFAATKAN BLOG ANDA DENGAN MENGIKUTI KUMPUL BLOGER
Malam Takbiran aku habiskan di Masjid, aku adalah penabuh bedug cilik paling handal di kampungku walau ngajiku tak pernah nambah dari Iqro 2. Malam itu, seperti biasanya, hanya sandal jepit yang sudah beberapa kali putus namun aku sambung lagi dengan peniti di bagian sampratnya yang aku kenakan. Maklum, selain jalan setapak menuju ke rumah itu itu licin, aku memang jarang beli sandal baru. “Lebih baik beli beras,” kata Mak Tua.
Malam Takbiran itu aku habiskan di Masjid, walau sebelumnya aku menyempat diri untuk memanen rambutan milik Pak Rajak beberapa jam sebelumnya. Oh ya, Pak Rajak itu pensiunan Jenderal yang punya tanah yang luas di kampungku. Walau jaraknya lebih dari satu kilo dari Masjid, rambutan itu jadi sasaran kami. Maksudnya kami adalah aku dan beberapa sahabatku yang nakalnya sudah takketulungan lagi. Salak, Rambutan, Duren semua pernah kami sikat habis. Oh ya, bahkan aku sering kali memetik buah jeruknya Pak Rajak untuk aku jual di sekolahan… wakakkaka…. Keren ya…. Atau ironis?
Malam itu, kutabuh bedug dengan suka cita walau hatiku menangis, aku belum punya baju baru dan sandal baru. Besok lebaran. “Besok Mak belikan sandal di pasar, sama klanting ya Le….” (Klanting itu jajanan pasar kesukaanku). Begitulah Mak Tua mengatakannya beberapa hari yang lalu. Aku sempat ngamuk-ngamuk, mecah piring dan melempar gelas gara-gara sandal dan baju baru itu takkunjung datang.
Malam itu kutabuh bedug dengan keras, amarah dan iri kepada teman-teman kampungku yang sudah punya sandal baru. Mereka sudah pada pamer sandal dan baju baru. Beberapa hari yang lalu, kutagih lagi janji Mak Tua. Mak Tua tak memberi jawaban dia tau kalau aku adalah sosok pendendam. Diam namun punya kemauan yang keras. Jika yang dijanjikan Mak Tua tak kunjung datang, bisa-bisa perabotan rumah habis aku buang.
Malam itu aku tak pulang, dan aku memang tak ingin pulang. Rumahku jauh dari Masjid, 15 menit jalan kaki via jalan setapak, licin, tanpa lampu dan begitu sepi. Tak ada rumah-rumah di sepanjang jalan. Konon, di dekat pohon kelapa itu angker. Apalagi rimbunnya pohon bambu, sungguh membuat bulu kuduk berdiri. Jika malam mulai menjelang, phon-pohon cengkeh yang tingginya di atas 6 meter itu menjulang melambai laiknya gendruwo yang sedang berbaris. Bahkan jika aku pulang kemalaman aku akan berlari sekencang mungkin karena takut. Sering kali aku terpeleset jatuh, pantatku sakitnya bukan kepalang, tapi aku tak menangis.
Malam itu kutabuh bedug dengan keras, setiap pukulan demi pukulan selalu aku nikmati sebagai sebuah dendam kesumat melumatkan dendam di hati. “Aku harus bisa punya kebun buah seperti milik Pak Rajak, aku harus punya mobil seperti mobilnya Pak Son, aku harus punya sepeda motor seperti punya Mas Agung!” begitulah umpatku dalam hati.
Malam itu kutabuh terus bedug itu. tanganku mulai kaku, lecet dan mulai terasa perih. Tapi aku takperduli. Aku muak dengan semua bentuk kemiskinan ini. Aku protes pada Tuhan yang namanya dikumandangkan sejak sore tadi. “Jika Engkau ada, kenapa tak mengirimkan sandal dan baju baru buatku?”
“Le, pulang yuk… Mak sudah belikan sandal dan baju buatmu. Ayo pulang,”
Aku menoleh, wajah lelah Mak Tua membuatku berhenti memukul bedug. Mak Tua menyeka keringat di jidatku. Tangannya dengan lembut meraih pemukul bedug dan meletakkannya begitu saja di lantai. Aku masih merajuk walau aku dengan pelan mengikuti langkah Mak Tua menuju jalan pulang. Obor dinyalakan setelah kami cukup jauh dari Masjid Baitul Mukmin milik Haji Nandar itu. Hening, Mak Tua tak bicara, akupun memilih diam sebelum melihat sandal dan baju baru itu.
Gema Takbir masih kudengar dengan jelas walau semakin lama semakin lirih suaranya. Jalanan menurun itu kami telusuri dengan mata terpicing yang bergelut dengan pekatnya malam. Cukup lama, bahkan lebih dari 15 menit kami baru sampai rumah tua, reyot, tiang-tiangnya dari bamboo apus, dindingnya juga dari bambu. Bahkan penerangan kami pulang adalah obor dari bambu juga. Mak Tua mematikan obornya setelah membuka pintu rumah yang digembok dan diikat dengan rantai itu. Bunyi rantai besi memecah kesunyian malam.
Rumah itu kecil, hanya ruang tamu dengan meja kayu, sebuah kursi tamu dari kayu yang panjang dan sebuah dipan cukup besar di sudut yang lainnya. Lampu minyak dari kaleng Tiodan itu dinyalakan oleh nenek dengan korek Kempu kuno yang entah sudah berapa tahun umurnya. Lampu menyala redup, kulihat bungkusan plastik kresek warna hitam di atas meja. Mak Tua menepati janjinya, sebuah baju dengan celana jeans panjang, sandal jepit baru. Sesuai dengan janjinya. Aku suka. Kau tersenyum lalu mencobanya.
Aku memeluk bungkusan itu, bukan memeluk nenek. Bahkan tidurpun aku memeluknya sembari membayangkan besok aku akan keliling kampung, ke rumah Mbak Joyo, Mbah Sati, Mak Nah, Pak Sarmin dan tentu saja rumah Pak Yit. Merekalah yang selalu member uang jika ada anak-anak datang berkunjung. Tak peduli berapa jauh rumah-rumah itu, aku akan mendatanginya dengan segera. Ya, begitulah rencanaku esok hari. Mencari uang sebanyak-banyaknya untuk bisa beli buku baru. Aku harus jadi pinter, aku harus jadi pinter.
“Tidur Le, kamu harus sekolah yang rajin, biar besok jadi orang pinter. Orang pinter itu temannya juga orang pinter.” Pesan Mak Tua sembari memelukku.
***
Kini aku terdiam di sudut ruangan, tepatnya dapur. Di rumah megah calon istriku. Rumah dengan keramik di sana-sini, bukan gubuk bambu seperti milik Mak Tua yang kini telah menjadi satu dengan tanah. Gema Takbir berkumandang lantang, bunyi petasan bertalu-talu. Aku terdiam, menangis… aku ingat Mak Tua yang sudah meninggal 7 tahun yang lalu. Ingin sekali aku mengajaknya keliling kampung dengan mobilku itu. Ingin rasanya aku membelikan kalung emas untuknya.
“Mak, umurku sudah 28 tahun, walau kuliahku belum bisa beres tapi aku sudah kenal banyak orang Pinter seperti cita-citamu. Aku pernah ketemu Mamik Prakoso, yang dulu sering kita lihat di tivinya Mbak Santik, aku pernah ketemu Gogon yang dulu juga sering kita lihat di televisi hitam putih itu. Oh ya Mak, aku juga sering BB-man sama Enno Lerian, yang dulu setiap hari minggu kita lihat di televisinya Mbak Santik juga. Aku juga pernah syuting bareng Jenderal S. Parman yang itu lo Mak, yang di Film G30 S/PKI. Yang kita lihat di televisinya Mbak Santik juga. Mak… aku sekarang sudah gemuk, pipiku tembem, bahkan calon mantumu itu sering memanggilku Ndut… Mak…Mak…. Aku punya laptop, punya handphone 2 buah. Handphone canggih Mak, bisa buat chating. Tadi aku sempat Chating sama Monty Tiwa, Agung Sentausa, Fajar Nugross… Ah Mak Pasti ndak kenal, mereka sutradara Mak. Mak… aku juga pernah sms-an sama Fira Basuki, penulis buku Mak, yang dulu bukunya pernah aku tunjukkan ke Mak. Mak…. Aku kangen…. Di sini aku mulai bahagia… semoga Mak Juga bahagia di Surga sana…. Oh ya Mak, aku pernah ke rumahnya Pak Manthous, yang lagunya Mak senengin itu, Yati Pesek juga pernah ketemu loch Mak, malah dulu sempat makan di rumahnya Bu Yati Pesek itu. Mak… maafkan kenalakanku ya Mak, maafkan aku cucumu ini…. Aku selalu berdoa untukmu Mak… tanpamu mungkin aku tak akan jadi sekarang ini… hanya terimakasih dan lantunan doa yang selalu aku kirimkan untukmu… ”
--Kebumen 11 September 2010--
Salam Budaya:Endik KoeswoyoJl. Swadaya 604 Yogyakarta.email: endik_penulis@yahoo.comPhone: 0817 323 345Mari Mencintai Indonesia Apa AdanyaMANFAATKAN BLOG ANDA DENGAN MENGIKUTI KUMPUL BLOGER
Posting Komentar untuk "Cerpen: "Teringat lebaran 20 tahun yang lalu ketika aku merajuk dan umurku masih 8 tahun lebih sedikit""
Terimakasih Sudah Bersedia Membaca, tuliskan komentar anda dan saya akan berkunjung ke blog anda...