#DariPadaPacaran Daripada Pacaran #DariPadaPacaran
Oke teman-teman semua, ini janji saya tadi di twitter, saya uploud dua BAB dari rencana novel yang entah nanti judulnya apa dan terbitnya dimana. Jadi naskah ini saya tulis di memo BB, mengisi atau lebih tepatnya memanfaatkan waktu di malam Minggu #DariPadaPacaran. Menurut aku sih lebih baik memanfaatkan waktu di malam Minggu, hehehhe... yuk mari dibaca, dan jangan lupa kasih komentar ya, #DariPadaPacaran menurutmu ngapain sih asiknya? Kalau aku sih dapat 2 Bab, nah, selamat membaca hasil tulisan saya di malam Minggu...
BAB I. MURID TITIPAN…
Aku
menatap Spongebob dan Donal Duck yang lagi diem-dieman sama Patrik, dan
Plangton, mungkin mereka baru saja berantem, tapi ah sudahlah, mereka hanya
gambar, gambar pada sprei kasurku dan selimutku. Ini sudah jam 3 pagi,
benar-benar malam panjang bagiku, aku belum bisa tidur. Bahkan roti tawar
seiris yang aku baluri susu coklat yang kemudian aku gunakan buat membungkus
sebiji pisang itu, tak juga membuat mataku mengantuk. Aih, aku sedih pagi ini.
Di
dunia ini ada yang selalu aku rindukan, wanita yang selalu aku rindukan,
pacar? Enggak, enggak, rasa rinduku lebih dalam dari pacar. Ini rasa rindu yang
beda. Ini sudah 2014 nggak musim lagi rindu sama pacar, udah ga jaman pacaran.
Dari pada pacaran, menurutku lebih baik digunakan buat hal lain yang lebih
positif.
Kenanganku
melaju kencang kembali pada medio tahun 1987, ya tahun itu yang bisa aku ingat,
tahun-tahun sebelumnya aku lamat-lamat saja, bahkan lupa, maklum aku lahir
1982, jadi kalau 1987 aku masih bisa mengingat beberapa kejadian karena saat
itu aku sudah berusia 5 tahun. Seingatku, aku sering pulang sekolah sambil
nangis. Entah kenapa, yang aku tau, aku ikut sekolah, ikut-ikutan kakakku yang
sudah masuk kelas 1 SD, aku ikut sekolah, belum bisa baca, belum bisa nulis,
tetapi aku rajin masuk kelas, sama seperti anak kelas 1 SD lainnya, tetapi aku nggak
dapet rapot, ya, Mak Tua menitipkan aku di kelas itu, satu kelas dengan
kakakku, dan aku tak pernah sekalipun membolos, hebatkan? Ya... Tetapi aku
sering nangis kalo pulang sekolah, itu yang aku ingat.
Pulangnya
jam 11 siang seingatku, terus aku dan kakakku, Bagus Darianto jalan kaki, lewat
jalanan berbatu, jauh banget, lebih dari 2 kilo meter. Sekolahku di lereng
gunung Anjasmara, paling ujung kampung letaknya. Ketika aku kelas 1 SD, yang
masih kelas 1 titipan itu, sekolahku masih berdindingkan kayu, jendela kawat
anyaman, sekolahku hanya ada 5 kelas, rusak dan dalam tahap renovasi. Nanti
ketika aku sudah kelas 3 beneran, sekolahku itu di bangun, dan anak-anak pindah
sekolah, numpang di rumah warga, tapi itu nanti, masih lama, 3 tahun lagi baru
aku ceritakan. Aku ingin bercerita tentang kelas 1 dulu, dan ini juga 2 tahun,
kelas satu titipan setahun, kemudian resmi jadi murid kelas 1 setahun kemudian.
Sepulang
sekolah, aku sering nangis, rasanya capek, kaki pegel-pegel dan keringetan,
walau udara dingin di desaku, tetapi jalan kaki dengan sepatu karet yang
jauhnya lebih dari 2 kilo meter siang bolong pastilah capek dan yang bikin aku
nangis itu ternyata laper, dan kakiku lecet-lecet karena sepatu karet.
Menurut
Mak Tua, katanya aku kalo pulang sekolah pasti langsung makan, satu piring dan
pasti habis, apapun lauknya; ikan klotok, sambel teri, peyek kedelai, pergedel
mbote, sayur bobor daun singkong, tempe goreng, bobor lembayung, sayur oblok
lompong pedes, blendrang kacang, sayur lodeh nangka, sup jamur barat, oseng
jamur kuping, sambel bajak, sambel mangga, sambel terasi, sambel korek, sambel
tomat, oseng pakis, ayam koloke sebulan sekali, ikan mas goreng belum tentu
sebulan sekali, daging? Mungkin saat Idul Qurban, banyak daging kambing, telur
dadar campur ampas kelapa dan campur tepung seminggu sekali, jangkrik goreng,
walang goreng, entung pokat goreng, dan masih banyak jenis makanan yang aku
suka. Semua yang dimasak Mak Tua, aku pasti suka. -Pada saat menulis daftar
makanan saat kecilku ini, aku menangis-
Oke,
hari ini 2 Januari 2014, jam 6 pagi aku udah jadi cowok paling cengeng, nangis.
Kenapa? Aku ngerasa kangen banget sama Mak Tua. Membuncah semuanya. Jadi, pada
part ini aku ingin menceritakan soal Mak Tua saja, nenekku dari ibu yang sudah
meninggal 8 tahun yang lalu. Aku masih ingat betul, nenekku mendapat panggilan
Allah pada hari Minggu Legi, tangal 5 November 2006.
Satu-satunya
perempuan yang aku kagumi, pahlawanku, ibu dan juga bapakku, saudara dan juga
sahabatku, paling ngerti soal aku, yang selalu berjuang siang malam dengan
fisik dan doanya, dengan keringat dan jiwanya, membesarkan aku, adalah Mak Tua.
Seingatku, aku sudah tinggal di rumah kecil, dindingnya bambu, lantainya tanah,
lampu teplok minyak tanah, radio National dengan batrai ABC 6 biji, yang batrainya
sudah direbus beberapa kali biar ada strumnya lagi. Rumah Mak Tua ada diantara
kebun cengkeh, kebon itu milik Pak Sukem, jaraknya dari rumah terdekat 500
meter, rumah paling ujung. Mak Tua usianya sudah lebih 60 tahun, janda dengan
satu anak, yaitu Narti, ibuku. Seorang ibu yang hingga aku berusia 15 tahun
belum pernah aku temui. Mak Tua entah dari mana dia mendapat uang untuk makanku
dan kakakku, yang sering aku lihat, Mak Tua itu dukun pijet, mijet orang yang
datang, sering kali aku melihat anak-anak tetangga yang masih bayi, sembuh
sakitnya kalau dipijet Mak Tua. Setauku juga, selain pijat, Mak Tua juga
beberapa kali di panggil untuk memasak, konon Mak Tua sudah menjadi pembantu
keluarga Thionghoa sejak usia 9 tahun. Seingatku, aku beberapa kali diajak Mak
Tua ketika mendapat undangan masak dari keluarga Thionghoa itu, nah aku suka
ikut karena pasti banyak makanan enak.
Orang-orang
kampung menyebut aku "arek tegalan" atau anak yang tinggal di kebon.
Ya, sebutan itu sering aku dengar walau aku nggak suka dengan sebutan itu.
Suatu hari, jika tulisan ini anda baca, dan anda berada di Wonosalam Jombang,
cobalah cari dusun Mangirejo, dan tanyakan ke orang-orang Mangirejo, dulu tahun
90-an ada 2 orang anak yang tinggal sama neneknya, apa benar mereka disebut
"arek tegalan"? Tanyakan, pasti seru, kalao perlu datangi puing-puing
rumah itu, masih ada sampai sekarang, walau sudah jadi kandang kambing.
Mak
Tua adalah yang paling mengerti, dan ketika beliau meninggal, aku sangat sedih,
dan yang paling sedih lagi aku tak bisa pulang, tak bisa mengantarkannya ke
pembaringan terakhir, aku hanya bisa diam, diam tak menangis, hanya air mataku
berkaca-kaca, sepanjang malam, mataku tak mampu mewakili kesedihanku kala itu.
Jangankan pulang ke Jombang, untuk makan saja tahun 2006 masih sangat sulit
bagiku.
Setiap
kali aku teringat Mak Tua, kapanpun itu, dimanapun itu, semua kenangan masa
kecilku selalu kembali bercerita. Akulah satu-satunya disekolahku, akulah
satu-satunya murid titipan itu... Dan inilah ceritaku...
BAB 2. MULAISEKOLAH
Dinginnya
pagi, kabut yang menggerayangi sekitar rumah bambu itu pecah oleh kehebohan 3
manusia di dalam kamar, pada sebuah ranjang kayu dengan kasur kapuk yang jauh
dari kata empuk.
"Hahaha...
Mas... Mas... Itu idungmu... Hahahah... Rupamu?! Hahahah..." Aku
terpingkal, ku tunjuk batang hidung kakakku.
Tak
seperti biasanya, aku yang malas sekali bangun pagi ini terbahak-bahak,
terbahak melihat muka Mas Bagus, kakakku. Betapa tidak, hidunya hitam, mukanya
hitam, dan Mak Tua juga hitam-hitam. Kami semua tertawa, rupanya lampu minyak
kami mengalami kerusakan dan menyebabkan asap hitam, kami orang jawa
menyebutnya "langes" dan muka kami semua hitam-hitam.
"Sudah,
ayo mandi, sarapan terus sekolah," kata Mak Tua sambil mengulurkan
tangannya ke aku, hendak menggendongku.
"Mandi?"
Ah ini kata paling mengerikan dalam sejarah hidupku, aku mending suruh cari
kayu sendiri ke hutan, suruh ambil buah durian jatuh tengah malam ketimbang di
suruh mandi. Mandi pagi di desaku sangatnya menyiksa, airnya sedingin es batu,
dingin sekali.
"Ayo
mandi?!" Kata Mak Tua semakin gemes.
"Aaah..."
Aku menggelayut manja, menempelkan mukaku dibahu rentanya, tampak Mak Tua sudah
cukup susah menggendongku yang kini sudah berumur 6 tahun, tapi jangan harap
mau beranjak dari kasur kalau aku tidak di gendong, apalagi disuruh ke kamar
mandi di depan rumah itu, aku sudah pasti emoh.
Begitulah
pagiku, Mas Bagus sudah selasai mandi, aku sudah selesai mandi, kamu sudah
menggigil di depan tungku kayu, di depan bara api yang melahap kayu pinus yang
kami bawa dari hutan kemarin hari Minggu.
"Nanti
kalo di sekolah jangan nakal, Pak Buamin itu kereng, galak, suka mlintir
athi-athi," Mas Bagus memperingatkan aku.
Aku
hanya tersenyum nggak peduli, tanganku masih asik mencari kehangatan dibara api
pagi ini. Matahari belum muncul sempurna, masih teramat pagi, jam 6. Mak Tua di
dekat kami, sibuk menyiapkan makanan, nasi dingin sepiring sepotong ikan asin
dan sayur blendrang kacang pagi itu. Aku suka blendrang kacang, apalagi kalau
hangat seperti ini, seingatku sayur blendrang kacang ini sudah 5 hari di atas
tunggu, sudah 5 hari ini menjadi menu sarapan, makan siang dan makan malam.
Sempurna sekali rasanya, apalagi kalau tidak sengaja kita menggigit cabe merah
keriting utuh di dalamnya, wow, pedesnya bikin ilang ngantuk dan dingin, bikin
lidah mengeluarkan liur manis.
"Mak,
kapan dibeliin sepatu baru? Aku malu, aku isin Mak, mosok sepatu karet gini ga
ganti-ganti? Lagian ini sudah setahun, sudah sobek ini belakangnya,"
kataku sambil nunjukin sepatu karetku. Sepatu ini sudah setahun aku pakai,
bagian bawahnya masih utuh karena sebenarnya ini desain sepatunya mirip dengan
sepatu bola, tapi semua dari karet, sepatu segala medan, di jalan berbatu aman,
saat hujan aman, jalanan becek aman, jalanan kering oke. Buat tanjakan aman,
buat turunan, gigi-gigi bawahnya menggit tajam, aman. Tapi, kekurangannya hanya
satu, sepatu karet itu harus disertai dengan kaos kaki tebal biar kaki tidak
lecet.
"Ya,
besok kalo punya rejeki, Emak beliin sepatu," kata Mak Tua menghibur.
"ATT
ya Mak, kayak sepatunya Gunawan itu loh," seruku senang.
Mak
Tua mengangguk, lalu menyodorkan sesuap nasi ke mulutku. Suapan pagi ini,
bahkan setiap pagi, selalu menggunakan tangan, rasanya enak sekali kalau Mak
Tua yang menyuapi. Aku dan Mas Bagus, selalu disuapin Mak Tua setiap pagi,
setiap pagi, dan setiap pagi, selama aku bisa mengingat, sarapan kami selalu
disuapin, dari satu piring untuk kami berdua.
"Sini
sepatumu," kata Mas Bagus sembari memasukkan sebuah kawat besi ke bara
api. Aku melepas sepatu, aku tau, pasti sepatuku akan dijahit manual oleh
kakakku itu. Aku sudah pernah melihat, sepatu milik kakakku di bagian tumitnya
juga sudah jahitan, dilubangi dengan kawat panas lalu dijahit dengan tali
rafia. Itulah, solusi unik pada masa kecilku. Sambil makan, sambil api-api,
menghangatkan badan, sepatuku dijahit Mas Bagus. Bagiku tidak masalah, banyak
di sekolahku yang sepatu robek sana sini, bahkan banyak yang nyeker alis tidak
pakai sepatu. Bahkan banyak yang sepatunya dimasukin dalam tas, hanya dipakai
di dalam kelas, biar awet, maklum rata-rata semuanya rumahnya jauh-jauh dari
sekolah.
Perut
sudah kenyang, dingin sudah hilang, sepatu sudah kembali nyaman dipakai,
berangkatlah kami sekolah, diiringi kecupan Mak Tua dan lantunan doanya,
seperti biasanya, Mak Tua mengantar kami sampai depan rumah, beliau berdiri
mentap kami, sampai kami menghilang di jalan setapak yang menanjak diantara
rimbunnya pohon cengkeh. Ini hari pertamaku masuk sekolah, sebagai murid asli,
murid resmi dan aku nanti dapat rapot, warna biru seperti punya Mas Bagus.
Asik...
Langkah
kaki kami berdua riang, ceria, langkah kecil yang entah sudah keberapa kalinya
melalui jalanan setapak yang sama, melalui perkebunan cengkeh yang sama,
melewati jalan berbatu yang sama, melewati perkampungan yang sama, lalu jalanan
berbatu yang sepi, hingga akhirnya sampai disekolah yang sama. Ceria kami
lalui, aku dan Mas Bagus.
Tiba
di sekolah, aku langsung menghambur masuk kelas, duduk paling depan, mencari
bangku kosong duluan, disinilah aku akan duduk setahun lamanya, di bangku
paling depan sebelah kanan, di depan Pak Guru. Aku sudah tau, yang mengajarku
nanti Pak Buamin. Guru yang sama, seperti setahun kemarin. Tempat dudukku juga
sama, seperti tahun kemarin, yang berbeda adalah kebahagiaanku, karena aku
bahagia telah resmi menjadi murid kelas satu, SDN Wonosalam IV yang ada di
dusun Sumbergogor.
Aku
bukan yang pertama masuk kelas ini, sudah ada beberapa anak baru, ada yang
diantar emaknya, ada yang diantar bapaknya, ada yang datang sendiri, ada juga
yang nggak ngintip-ngintip dari luar, tidak berani masuk.
Bel
sekolah dari besi potongan rel kereta api sudah dipukul dengan palu besi,
"teng teng teng teng," aku segera berlari keluar kelas, hari ini
upacara bendera. Lagi-lagi, aku yang sudah punya pengalaman setahun di kelas
satu titipan itu, mengatur anak-anak baru. Walau ada Pak Buamin yang berada di
antara murid, tetap aku yang memimpin baris barisannya, Pak Buamin yang
merapikan dan mengajari anak-anak yang baru masuk kelas satu itu
baris-berbaris. "Siaaaap Grak!" Pekikku bangga, aku congkak saat itu,
seolah akulah pemimpin, seolah akulah ketua kelas. Tapi aku memang suka, kalau
dulu Mas Bagus yang menjadi ketua kelas 1 saat aku dititipkan, sekarang akulah
yang menjadi pemimpinnya. "Lencang depan! Grak!" Teriakku lagi,
mengikuti aba-aba Mas Bagus yang memimpin kelas 2 dibarisan sebelah kiriku saat
ini. "Istirahat di tempat! Grak!" Lagi-lagi aku mengkuti Mas Bagus.
Lalu aku berlari ke barisan, aku nggak peduli Pak Buamin yang kerepotan
merapikan dan meberikan contoh, aku sudah posisi istirahat yang benar, kubuka
kakiku lebar, kedua tanganku disatukan dibelakang punggung, aku berdiri paling
depan sebelah kanan murid-murid kelas satu, tanpa tolah toleh lagi, mematung.
Rangkaian
upacara dilaksanakan, yang aku perhatikan pertama adalah komandan upacara.
Memimpin pasukan, memberi hormat kepada pembina upacara, memberikan laporan,
dan seterusnya dan seterusnya. Aku suka upacara bendera, apalagi saat pembacaan
Undang Undang Dasar 45, seorang murid dengan langkah tegap membawa map, maju ke
depan peserta upacara, lapor kepada pembina upacara, baru kemudian dengan gagah
dan lantang dia membacanya, berdiri di depan semua orang. Nadanya pas "PEMBUKAAN,
Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu,
maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan
perikemanusiaan dan perikeadilan. Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan
Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentosa
mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan negara
Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Atas berkat
rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur,
supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan
dengan ini kemerdekaannya. Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu
pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah
kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar negara
Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang
berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada : Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan
yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan
suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia… “ aku begitu suka
mendengrkan pembacaan Pembukan Undang-Undang Dasar 1945, ya, pokoknya aku
senang, teramat sangat senang menikmatinya bersama hangatnya matahari pagi,
setiap hari upacara bendera Senin di sekolahku, tanpa ada suara bising
kendaraan, bahkan semua hening, sepi takdzim mendengerkan.
Dan
itulah kebahagianku ketika aku mulai sekolah, seterusnya tanpa ada pemilihan
ketua kelas, Pak Buamin memilihku menunjukku menjadi ketua kelas. Hei, itulah
aku, yang setiap pagi teriak-teriak memimpin anak-anak berbaris di depan kelas,
baris rapi di depan kelas sebelum kami masuk kelas. Setiap pagi, Pak Buamin
selalu memeriksa kuku kami satu-satu, bahkan juga rambut kami, kalau ada yang
berkutu pasti disuruh keramas, dan entah disuruh apa lagi. Semua diperiksa satu
persatu. Begitulah aku, menikmati hari-hariku di sekolah sebagai murid yang
punya pengalaman lebih, lebih dulu aku mengenal kelas satu, sebelum 16 murid baru
lainnya.
Salam Budaya: @endikkoeswoyo Mari Mencintai Indonesia Apa Adanya MANFAATKAN BLOG ANDA DENGAN MENGIKUTI KUMPUL BLOGER
Posting Komentar untuk "Daripada Pacaran #DariPadaPacaran"
Terimakasih Sudah Bersedia Membaca, tuliskan komentar anda dan saya akan berkunjung ke blog anda...