Secangkir Kopi dan Harapan untuk Ayah - Oleh; Endik Koeswoyo



BAB 1

SECANGKIR KOPI DI MEJA AYAH

Aroma kopi tubruk yang pekat menyusup ke sela-sela pagi itu. Lia menarik napas panjang dari balik meja kayu tua yang menjadi sudut favoritnya di kedai kopi keluarga. Pensil mekaniknya bergerak lincah di atas kertas, menyelesaikan sketsa karakter yang sudah menari-nari di kepalanya sejak semalam.

"Lia!" suara berat Pak Surya menggelegar dari balik meja kasir. "Ambilin pesanan meja tiga, jangan melamun terus!"

Lia menghela napas, meletakkan pensilnya perlahan. Sejenak ia menatap gambar separuh jadi di hadapannya, lalu meraih nampan berisi dua cangkir kopi panas. Tangannya terlatih menjaga keseimbangan di antara pelanggan yang lalu lalang.

"Terima kasih, Lia!" seru Pak Tono, pelanggan setia yang saban pagi duduk di pojok kedai.

Lia tersenyum sopan, lalu kembali ke sudut mejanya, berharap bisa melanjutkan gambar. Namun harapannya pupus saat Tante Rina mendekat.

"Lia, kamu udah nyiapin laporan stok biji kopi buat besok belum?" suara tante Rina mencuat, lengkap dengan tatapan menghakimi yang membuat Lia ingin lenyap.

"Belum, Tan. Lia pikir itu bagian..."

"Bagian kamu!" potong Tante Rina tajam. "Kalau mau jadi penerus kedai ini, kamu harus belajar dari sekarang. Bukan cuma gambar-gambar nggak jelas begitu."

Lia mengatupkan rahangnya. Di sudut pandangnya, Bima sedang merapikan gelas-gelas di rak. Pandangan mereka beradu sesaat. Bima hanya tersenyum simpul, seolah berkata, "Sabar, ya."


Siang itu, Lia duduk di bangku taman belakang sekolah, menggambar diam-diam sambil menunggu jam pelajaran seni dimulai. Dani datang dengan langkah ringan, membawa dua kotak jus mangga.

"Nih, buat kamu," kata Dani, duduk di sampingnya.

Lia menerimanya tanpa banyak bicara. Ia lebih sibuk merapikan garis-garis digital di tabletnya.

"Lomba desain digital nasional bulan depan," Dani membuka topik. "Aku yakin kamu pasti bisa masuk finalis, Li. Aku udah rekomendasiin kamu ke Bu Retno, loh."

Lia mendongak pelan. Ada binar harapan di matanya. Tapi itu segera padam saat teringat ayahnya.

"Ayah nggak bakal ngizinin," gumamnya.

"Kamu nggak mau coba dulu?"

Lia menggeleng pelan. "Ayahku... beda, Dan."

Dani tersenyum tipis, menepuk pundaknya pelan. "Kamu nggak sendirian. Kalau butuh bantuan, panggil aku."


Sore itu, Lia kembali ke kedai dengan langkah berat. Pak Surya menunggunya di depan pintu dengan kedua tangan terlipat di dada.

"Dari mana aja?"

"Sekolah, Yah," jawab Lia pelan.

"Sekolah apa nongkrong sama si Dani? Jangan banyak alasan. Mulai besok, kamu belajar bikin kopi. Biar ngerti kerja keras itu kayak apa."

Lia menunduk. Hatinya berontak, tapi suaranya tak sanggup melawan.

Di meja sudut, Bima menuangkan kopi ke cangkir pelanggan, lalu melirik Lia dengan tatapan lembut. Ia tahu, hari itu Lia kembali mengubur mimpinya.

Dan Lia hanya bisa menghela napas, menatap secangkir kopi panas di meja ayahnya. Kopi yang sama, tapi kini terasa lebih pahit dari biasanya.


BAB 2

CORETAN IMPIAN YANG TERKOYAK

Suara bel sekolah berdentang pelan, menandakan berakhirnya pelajaran hari itu. Lia berjalan keluar kelas dengan tablet gambar terselip di pelukannya. Ia menghela napas panjang ketika mendengar langkah-langkah kaki cepat menyusul dari belakang.

"Eh, Lia!" Sinta melambai dengan senyum manis yang mencurigakan. Di belakangnya, dua teman dekatnya mengikuti sambil berbisik-bisik.

Lia memperlambat langkah. "Ada apa, Sin?"

"Kamu beneran mau ikut lomba desain digital itu?" Mata Sinta tampak berbinar, meski nada bicaranya terdengar meremehkan. "Katanya sih persaingannya ketat banget. Jangan sampai malu-maluin sekolah, ya."

Lia menatapnya sekilas. "Aku akan berusaha."

"Iya, semoga usaha kamu nggak sia-sia, deh," jawab Sinta, sambil menepuk-nepuk bahu Lia. Sekilas seperti dukungan, tapi tatapan Sinta berbicara lain.


Di rumah, Lia melirik tablet yang ia sembunyikan di laci kamar. Tangannya gatal ingin membuka dan melanjutkan sketsanya. Namun suara ayahnya dari ruang tamu membuatnya urung.

"Lia! Ke sini sebentar!" panggil Pak Surya.

Dengan langkah berat, Lia keluar kamar. Di ruang tamu, Tante Rina sudah duduk dengan wajah serius, sementara Pak Surya memegang buku catatan tebal.

"Besok kamu yang pegang kasir," ujar Pak Surya tanpa basa-basi. "Sekalian belajar hitung stok bahan baku."

"Yah, Lia ada tugas sekolah..."

"Tugas keluarga lebih penting!" potong Tante Rina. "Kalau kamu nggak belajar dari sekarang, siapa lagi yang nerusin kedai ini?"

Lia mengepalkan tangan di sisi tubuhnya. Ada getar amarah yang ia tahan. Tapi seperti biasa, suaranya selalu tenggelam.


Keesokan harinya di sekolah, Dani menghampiri Lia di lapangan belakang saat jam istirahat.

"Lia, Bu Retno mau lihat progres desain kamu. Besok terakhir pendaftaran," kata Dani sambil menyerahkan flashdisk.

Lia menerima dengan tangan gemetar. "Aku... belum selesai."

"Kenapa? Ada masalah?" Dani menatapnya serius.

"Ayahku... dia nyita waktuku buat jaga kasir," bisiknya.

Dani menghela napas, lalu tersenyum tipis. "Kalau gitu, habis sekolah kita kerja bareng di rumahku, gimana? Aman dari gangguan."

Lia ragu sejenak. Tapi akhirnya mengangguk pelan. "Oke."


Sore itu, saat Lia hendak pergi ke rumah Dani, Bima memanggilnya dari dapur kedai.

"Lo mau ke mana?" tanyanya, meletakkan lap di pundaknya.

"Belajar..." jawab Lia singkat.

Bima mengerutkan kening. "Sama Dani, ya?"

Lia hanya mengangguk, lalu buru-buru pergi. Di belakangnya, Bima terdiam lama. Ada sesuatu yang berat di dadanya, tapi ia menahan diri untuk tidak menahannya.


Di rumah Dani, Lia merasa lega bisa menggambar tanpa gangguan. Dani menyediakan meja rapi, lampu yang terang, dan musik instrumental yang membuatnya nyaman. Jam demi jam berlalu tanpa terasa, hingga akhirnya desain digital Lia hampir selesai.

"Keren!" puji Dani saat melihat hasil akhirnya. "Aku yakin kamu bakal masuk nominasi."

Lia tersenyum untuk pertama kalinya hari itu, meski di dalam hatinya, bayangan ayahnya masih menghantui.

Dan ketika malam tiba, Dani mengantarnya pulang. Di depan rumah, mereka terdiam sejenak sebelum Dani berkata pelan, "Kalau kamu butuh apa pun, kabarin aku."

Lia mengangguk, lalu melangkah masuk ke rumah. Tanpa ia sadari, dari jendela kedai, Bima melihat semuanya sambil memegang cangkir kopi yang mulai dingin. 



BAB 3

ANTARA KEDAI DAN KANVAS

Suasana kedai kopi keluarga semakin sibuk menjelang akhir pekan. Lia berdiri di belakang meja kasir, jari-jarinya kaku menghitung uang kembalian. Matanya melirik tablet gambarnya yang tersimpan di tas, tersembunyi di bawah meja.

"Lia, tolong antar kopi ini ke meja tujuh!" seru Tante Rina yang berjalan cepat membawa nampan penuh gelas.

"Iya, Tan," jawab Lia pelan. Ia meraih nampan itu dan berjalan menuju pelanggan yang tampak tak sabar.

Sambil meletakkan gelas-gelas di atas meja, ia mendengar bisikan-bisikan pelan dari pelanggan yang sudah lama mengenal keluarganya.

"Sayang ya, anak Pak Surya lebih milih gambar-gambar nggak jelas daripada ngurus kedai."

"Iya, padahal ini usaha turun-temurun. Kalau nggak diterusin, siapa lagi?"

Lia menunduk, menahan napas. Komentar-komentar itu seperti pisau kecil yang perlahan menusuk hatinya.


Di sekolah, situasi tak jauh berbeda. Sinta semakin gencar menjatuhkan Lia. Kali ini, ia pura-pura ramah dan menawarkan bantuan untuk mengecek file desain Lia.

"Biar aku bantu cek error-nya, Li," kata Sinta sambil meminjam tablet Lia.

Lia menatap ragu, namun akhirnya menyerah. "Jangan lama-lama ya."

Beberapa menit kemudian, Sinta mengembalikan tablet itu. Lia tidak mencurigai apa-apa sampai sore hari ketika ia membuka filenya—sebagian desainnya hilang.

"Nggak mungkin..." bisiknya panik.

Dani yang datang tak lama kemudian mencoba menenangkan. "Tenang, kita bisa perbaiki. Aku punya backup desain-mu yang terakhir kemarin malam."

Lia menarik napas lega, meski rasa kecewanya pada Sinta menumpuk.


Di kedai, Pak Surya semakin keras pada Lia. Kali ini, ia menyuruh Lia belajar mencatat stok bahan baku sambil melayani pelanggan.

"Kalau kamu nggak belajar dari sekarang, kedai ini bisa tutup besok lusa," ujar Pak Surya tanpa ampun.

"Tapi Yah, Lia harus...

"Nggak ada tapi-tapian! Kamu pikir seni itu bisa kasih makan? Ini kopi, Lia. Ini hidup kita!"

Lia merasa suaranya tercekat. Di sudut ruangan, Bima memperhatikan dari balik meja barista. Setelah pelanggan berkurang, Bima menghampirinya.

"Lo mau istirahat sebentar? Gue jagain kasirnya," tawar Bima pelan.

Lia hanya menatapnya, lalu menggeleng. "Nggak papa. Gue kuat kok."

Bima mengangguk pelan, walau di dalam hatinya ia tahu Lia sedang membohongi dirinya sendiri.


Malam itu, setelah semua pelanggan pulang dan kedai hampir tutup, Lia duduk sendiri di pojokan dengan secangkir kopi dingin. Tangannya kembali menggambar, meski lampu kedai mulai diredupkan.

Pak Surya menghampiri tanpa suara. Ia memperhatikan diam-diam, lalu mendesah.

"Kamu tetap nggak ngerti ya, Lia?" katanya datar.

Lia menghentikan garisnya, menoleh perlahan.

"Ayah nggak ngerti kenapa aku nggak boleh punya mimpi sendiri," balasnya, suaranya gemetar tapi tegas.

Pak Surya terdiam. Tak ada jawaban malam itu. Hanya ada bunyi sendok yang menyentuh gelas, lalu langkah berat sang ayah meninggalkannya sendiri.


Keesokan harinya, Dani mendatangi Lia dengan kabar baik. "Bu Retno bilang desain kamu bagus. Dia daftarin kamu buat seleksi tahap akhir."

Lia terkejut, antara senang dan takut.

"Tapi... ayahku nggak akan setuju," lirihnya.

Dani tersenyum, menatap Lia penuh keyakinan. "Kita jalanin bareng. Gue bantu."

Dan tanpa mereka sadari, dari jauh, Bima melihat mereka berbicara akrab. Di hatinya, ada sesuatu yang mulai retak.


BAB 4

WARNA YANG MEMUDAR

Lia menatap layar tabletnya yang kosong. Sudah berjam-jam ia duduk di sudut kamarnya, namun tak satu garis pun mampu ia buat. Pikirannya tumpang tindih oleh suara-suara yang saling bertentangan: suara ayahnya, Tante Rina, para pelanggan, dan bisikan licik Sinta. Semua membentuk benang kusut yang sulit diurai.

Di meja belajarnya, cangkir kopi buatan Bima tergeletak dingin. Ia bahkan tak ingat kapan terakhir kali menyeruputnya.

"Kamu nggak sendiri, Lia..." gumamnya, menirukan kata-kata Dani beberapa hari lalu. Tapi kenyataannya, ia merasa sangat sendiri.


Malam itu, suara ketukan pelan di pintu kamarnya membuat Lia tersentak.

"Lia, Ayah mau bicara," suara Pak Surya terdengar tegas seperti biasa.

Lia membuka pintu perlahan. Pak Surya berdiri di ambang, wajahnya serius.

"Besok kamu nggak usah sekolah. Bantu Ayah penuh di kedai."

"Yah, besok aku ada ujian praktik seni..." suara Lia melemah.

Pak Surya menggeleng tegas. "Nggak ada yang lebih penting dari keluarga. Titik."

Pintu kamar tertutup lagi. Lia menatap lantai kayu, air matanya menggenang di sudut mata.


Keesokan harinya, di sekolah, Dani bingung mencari Lia di kelas seni. Saat akhirnya menemukan Lia di kedai sepulang sekolah, gadis itu tampak lelah, rambutnya diikat asal-asalan, dan matanya sembab.

"Lo nggak masuk tadi..." Dani duduk di seberang Lia yang tengah mencatat stok bahan di buku besar kedai.

"Nggak bisa," jawab Lia pelan.

"Lia, ini kesempatan lo!" Dani berseru lirih, menahan emosinya agar tidak terdengar keras di telinga Pak Surya yang duduk di kasir.

Lia menunduk. "Gue tahu. Tapi gue juga nggak bisa ninggalin Ayah gue."

Dani mengepalkan tangan. Ia menarik napas panjang sebelum akhirnya berdiri. "Gue nggak akan nyerah buat bantu lo. Lo yang harus yakin sama mimpi lo sendiri."


Di malam yang sama, Dani membawa Lia ke pameran seni yang diadakan di galeri Bu Retno. Dinding-dinding galeri dipenuhi karya digital dari seniman muda. Warna-warna cerah, karakter-karakter imajinatif, semua terasa hidup dan menyala.

Lia berdiri terpaku di depan sebuah karya ilustrasi bertema keluarga. Seorang anak kecil sedang menggambar di sudut kedai kopi sambil diperhatikan ayahnya dengan bangga.

"Itu kayak lo, kan?" suara Dani memecah keheningan.

Lia tersenyum samar. "Bedanya, Ayah gue nggak pernah lihat gue kayak gitu."

"Belum," sahut Dani. "Bukan nggak pernah."

Malam itu, Lia merasa ada semangat yang kembali menyala. Ia pulang ke rumah dengan langkah ringan, meski di dadanya masih ada keraguan.


Pagi berikutnya, Lia nekat masuk ke kamar ayahnya. Ia membuka laci tempat Pak Surya menyimpan laptop dan tabletnya. Jantungnya berdebar kencang saat tangan kirinya menyentuh perangkat itu.

"Maaf, Yah," bisiknya.

Di kamarnya, Lia kembali bekerja. Ia menggambar sampai larut malam. Bima yang mengetahui hal itu, diam-diam membawa segelas kopi hangat ke depan pintu kamar Lia.

"Lo nggak tidur?" suara Bima lirih di balik pintu.

"Belum. Ini terakhir," jawab Lia tanpa membuka pintu.

Bima tersenyum tipis. Ia tahu, Lia sedang bertarung.


Hari kompetisi pun tiba. Lia berangkat diam-diam, dibantu Dani dan Bima. Ia menyelinap keluar saat Pak Surya pergi ke pasar pagi-pagi sekali.

Di gedung kompetisi, Lia mengenakan hoodie abu-abu dan membawa tabletnya. Jantungnya berdegup kencang. Dani menepuk pundaknya.

"Santai. Lo udah nyampe sini. Tinggal tunjukin yang terbaik."

Namun, Sinta sudah menunggu. Diam-diam, ia menukar nomor urut presentasi Lia. Akibatnya, Lia hampir terlambat naik panggung.

"Nomor 27? Kamu telat!" panitia hampir mencoret namanya dari daftar.

"Tunggu!" Dani melompat ke meja panitia, menunjukkan bukti registrasi asli dari email. Akhirnya, Lia diizinkan maju.

Saat giliran Lia, layar proyektor tiba-tiba buram. Seseorang mengacaukan koneksi presentasinya. Bima yang melihat itu, segera bertindak cepat. Ia mengganti kabel dan memperbaiki tampilan layar, tepat sebelum Lia menyerah.

Dengan tangan gemetar, Lia memulai presentasinya. Satu demi satu karyanya terpampang di layar besar. Karyanya berbicara banyak: tentang keluarga, impian, dan kompromi antara keduanya.

Tepuk tangan penonton bergema saat Lia menyelesaikan presentasinya. Dani tersenyum lebar, sementara Bima menatap Lia dengan rasa bangga yang tak bisa ia ungkapkan.

Namun di lubuk hati Lia, ada kekhawatiran: apa yang akan terjadi jika Ayahnya tahu?


BAB 5

DI ANTARA DUA HATI

Sejak hari kompetisi itu, suasana hati Lia campur aduk. Ia lega karena berhasil mempresentasikan karyanya, tetapi rasa bersalah menghantui tiap langkahnya. Ia belum berani menatap ayahnya secara langsung. Setiap pagi di kedai, Lia hanya menunduk, sibuk menuang kopi atau mencatat pesanan.

Bima memperhatikannya dari balik meja barista. Ia tahu Lia butuh waktu, tapi di hatinya ada rasa cemas yang sulit ia bendung.


Suatu sore, Dani muncul di kedai dengan senyum lebar dan kertas undangan di tangannya.

"Lia, karya lo masuk nominasi utama! Undangannya udah keluar. Penghargaan bakal diumumin minggu depan," kata Dani, menyodorkan undangan itu ke tangan Lia.

Lia menatapnya, setengah tak percaya. "Serius? Gue... gue masuk?"

Dani mengangguk, tatapannya hangat. "Gue janji bakal nemenin lo di sana. Nggak usah khawatir."

Di meja kasir, Pak Surya hanya diam. Ekspresinya sulit ditebak. Lia menatap ayahnya sejenak, berharap ada ucapan selamat, tapi yang ia dapat hanya keheningan yang berat.


Hari-hari berikutnya, Dani makin sering mengajak Lia pergi ke pameran seni, mengajak diskusi soal desain, bahkan membelikan Lia buku sketsa edisi terbatas yang selama ini hanya bisa Lia impikan.

"Gue tahu lo pasti suka," kata Dani waktu menyerahkan buku itu di teras sekolah.

Lia tersenyum tulus, meskipun di hatinya ada perasaan yang mengganjal. Setiap Dani menggenggam tangannya atau berjalan terlalu dekat, Lia merasa aneh. Bukan tak nyaman, tapi juga bukan rasa yang Lia harapkan.

Di sisi lain, Bima menjaga jarak. Ia lebih banyak menghabiskan waktu membantu Pak Surya di kedai. Namun diam-diam, Bima selalu memperhatikan Lia. Setiap senyumnya, tawanya, dan... kehadiran Dani di sekitarnya.


Sampai suatu hari, Dani memberi kejutan besar. Saat acara seni tahunan sekolah, Dani berdiri di tengah lapangan dengan kanvas raksasa. Di depan seluruh murid, ia membuka kain penutupnya dan menampilkan lukisan wajah Lia dengan latar belakang kedai kopi.

Sorakan teman-teman sekolah menggema. Lia terpaku di tempat, wajahnya memanas.

"Gue cuma mau bilang... lo itu inspirasi buat gue," ucap Dani lantang.

Lia tersenyum kaku. Matanya mencari-cari Bima di antara kerumunan, dan ia menemukannya berdiri di pojok lapangan. Bima tersenyum tipis, tetapi sorot matanya mengaburkan segalanya.


Malam itu, Lia tak bisa tidur. Ia duduk di meja belajarnya, menatap layar laptop yang menampilkan desain logo baru untuk kedai kopi keluarganya. Logo itu menggabungkan unsur klasik dan modern, sesuatu yang ia harap bisa jadi simbol kompromi dengan sang ayah.

Ketika Lia sedang melamun, pesan masuk dari Dani.

"Lo happy nggak hari ini? Gue harap lo ngerti maksud gue."

Lia mengetik balasan pelan-pelan, lalu menghapusnya lagi. Ia menutup laptop, menarik napas panjang.


Keesokan harinya, di kedai, Bima memperhatikan Lia bekerja memperbaiki mesin kopi yang macet.

"Gue bantuin ya?" tawar Bima sambil berjongkok di sebelahnya.

Lia menatapnya lama. "Bima... lo nggak marah sama gue, kan?"

Bima menggeleng pelan. "Nggak ada alasan buat marah. Gue cuma... pengin lo bahagia. Itu aja."

Lia merasa dadanya sesak. Ia ingin bicara banyak, tapi tak tahu harus mulai dari mana. Tiba-tiba Pak Surya menghampiri mereka.

"Bima, tolong bantu Ayah ambil stok di gudang. Lia, setelah ini temenin Ayah ke tempat pemanggangan biji kopi. Ayah mau ajarin caranya milih biji terbaik."

Lia mengangguk pelan, walau dalam hati ada rasa gelisah yang sulit diabaikan.


Malam sebelum hari penghargaan, Dani menelepon Lia.

"Lo udah siap buat besok? Gue bakal nunggu di depan galeri jam tujuh pagi. Jangan telat."

"Iya, Dan," jawab Lia pelan.

Setelah menutup telepon, Lia menatap cermin. Di sana, ia melihat seorang gadis yang masih ragu, terjebak di antara dua hati—dan satu mimpi besar yang belum sepenuhnya direngkuhnya.



BAB 6

SECANGKIR PENGERTIAN

Pagi itu, Lia berdiri di depan cermin, merapikan kemeja putih sederhana yang ia kenakan. Di tangannya, undangan acara penghargaan tergenggam erat, hampir berkerut karena kecemasannya.

Di ruang tamu, Pak Surya duduk meneguk kopi tanpa suara. Bima berdiri di dekat pintu, siap mengantar Lia ke galeri tempat acara penghargaan diadakan. Dani sudah lebih dulu menunggu di luar, mengetik pesan di ponselnya.

Lia menarik napas dalam-dalam. "Yah... Lia berangkat dulu."

Pak Surya tidak menoleh. Ia hanya mengangguk pelan, kemudian menyesap kopinya sekali lagi. Lia hampir melangkah pergi, ketika suara ayahnya terdengar pelan namun jelas.

"Hati-hati di jalan."

Lia tersentak sejenak, lalu tersenyum tipis sebelum berjalan keluar rumah.


Di galeri seni, acara penghargaan berlangsung meriah. Para peserta mengenakan busana terbaik mereka. Dani berdiri di sisi Lia, tak henti memberikan semangat.

"Lo udah sampe di sini, Li. Nggak peduli menang atau nggak, lo udah ngelewatin banyak hal."

Lia mengangguk, meski pikirannya masih setengah melayang. Ia terus bertanya-tanya apakah keputusan ini benar. Tapi saat panitia mulai memanggil nama-nama finalis untuk maju, langkah kakinya mantap menuju panggung.

Saat namanya diumumkan sebagai salah satu pemenang, Lia berdiri di atas panggung, menerima plakat dan hadiah dari dewan juri. Sorakan penonton menggema, tetapi matanya justru mencari satu sosok di antara kerumunan.

Pak Surya.

Dan di sudut ruangan, ia melihatnya. Sang ayah berdiri diam, mengenakan kemeja biru sederhana. Di tangannya, ada secangkir kopi yang ia bawa sendiri dari rumah.

Pak Surya tidak mengatakan apa pun. Ia hanya mengangkat cangkir itu sedikit, isyarat pengakuan yang selama ini Lia tunggu. Mata Lia berkaca-kaca. Ia menggenggam plakatnya lebih erat, menahan emosi yang bergemuruh di dada.


Usai acara, di luar gedung galeri, Pak Surya menghampiri Lia. Ia menyerahkan secangkir kopi itu ke tangan putrinya.

"Ini kopi yang Ayah racik sendiri tadi pagi," katanya pelan. "Kopi spesial buat orang spesial."

Lia menggigit bibir, menahan air mata. "Makasih, Yah."

Pak Surya menatapnya dalam-dalam. "Ayah nggak janji ngerti semua impian kamu, Lia. Tapi Ayah janji bakal belajar."

Lia tersenyum, lalu memeluk ayahnya erat-erat.


Di kejauhan, Dani melihat momen itu dengan ekspresi datar. Ia berjalan mendekat, lalu menepuk bahu Lia.

"Selamat, ya. Lo keren banget di atas tadi," ucap Dani.

"Makasih, Dan. Buat semua dukungan lo juga," jawab Lia tulus.

Dani menatap mata Lia beberapa detik. "Gue mau nanya sesuatu... Lo pikir kita punya kesempatan buat lebih dari sekedar teman?"

Lia terdiam. Hatinya bimbang, tetapi sebelum ia sempat menjawab, Bima menghampiri mereka.

"Mobil udah siap, Li. Mau langsung pulang atau makan dulu?" tawarnya, suara tenang seperti biasa.

Lia melirik Bima, lalu Dani. Ia menarik napas pelan. "Pulang dulu, Bi. Ayah pasti udah nunggu."

Dani hanya mengangguk pelan, mencoba memahami. Sementara itu, Bima mengalihkan pandangan, menyembunyikan rasa lega yang tak ia tunjukkan.


Sore itu, di kedai kopi keluarga, Lia duduk bersama Pak Surya dan Bima. Mereka membicarakan desain baru untuk logo kedai, sambil menyeruput kopi buatan Pak Surya.

"Kita mulai babak baru, Lia," ujar Pak Surya sambil tersenyum.

Lia mengangguk. "Iya, Yah. Sekarang Lia ngerti, kadang kita nggak harus milih satu jalan. Kita bisa bikin jalan baru, bareng-bareng."

Di luar jendela, matahari mulai tenggelam, menandai akhir sebuah hari dan awal dari perjalanan baru Lia.



BAB 7

MELUKIS HARAPAN BARU

Beberapa minggu telah berlalu sejak penghargaan itu. Suasana di kedai kopi Pak Surya berubah perlahan. Meja-meja kayu yang dulunya polos kini dihiasi sketsa desain khas Lia yang mencerminkan kisah setiap pelanggan setia. Dinding kedai juga tampak lebih segar dengan mural bergaya modern, tetap mempertahankan nuansa tradisional.

Di balik meja kasir, Lia duduk mengerjakan desain menu baru dengan tablet digitalnya. Sementara itu, Pak Surya tampak lebih santai, duduk di dekat jendela sambil berbincang dengan pelanggan lama yang dulu selalu mempertanyakan masa depan Lia.

"Logo barunya keren, Li. Cocok banget buat kedai Ayah kamu," komentar seorang pelanggan muda sambil menyeruput kopi hitam.

Lia tersenyum. "Makasih, Mas. Semoga makin betah di sini."

Pak Surya mengangguk setuju. "Anak Ayah yang desain sendiri, loh. Ayah cuma bagian nyeduh kopinya."

Semua tertawa. Ada kehangatan baru di kedai itu, seperti secangkir kopi yang akhirnya menemukan racikan terbaiknya.


Suatu sore, Dani datang membawa sebuah undangan pameran seni di kota lain.

"Lo ikut, kan?" tanyanya sambil menyodorkan undangan itu.

Lia membaca cepat. Pameran besar, dihadiri ilustrator terkenal dari seluruh Indonesia. Ini kesempatan emas.

"Gue pikir-pikir dulu, Dan. Ayah lagi ngajarin gue banyak hal soal kedai. Gue nggak mau ninggalin tanggung jawab gitu aja," jawab Lia jujur.

Dani menatapnya sejenak, lalu mengangguk pelan. "Gue ngerti. Tapi kapan pun lo mau, gue tunggu buat pameran-pameran lainnya."

Lia tersenyum. "Makasih. Lo teman yang selalu support gue."

Mata Dani sedikit meredup. Kali ini, ia mengangguk tanpa kata.


Di dapur, Bima membantu Pak Surya memanggang biji kopi baru hasil panen dari petani langganan mereka.

"Bima, kamu makin ahli aja," kata Pak Surya sambil mencicipi aroma kopi.

"Belajar dari yang terbaik, Pak," jawab Bima sambil tersenyum.

Ketika Lia masuk membawa sketsa desain kemasan baru untuk biji kopi mereka, Bima menatapnya penuh kekaguman.

"Keren, Li. Gue suka warnanya," puji Bima tulus.

"Makasih, Bi. Gue bikin sambil nungguin lo beres roasting," sahut Lia santai.

Ada kehangatan yang familiar di antara mereka, sesuatu yang tak banyak berubah sejak dulu. Tapi kali ini, lebih dewasa, lebih memahami.


Malam itu, Lia duduk di teras kedai, menatap bintang sambil menggambar di buku sketsanya. Bima datang membawa dua cangkir kopi hangat.

"Buat lo. Yang nggak terlalu pahit, kayak yang biasa lo suka," katanya sambil menyodorkan cangkir itu.

Lia menerimanya, tersenyum kecil. "Lo selalu ingat, ya?"

"Gimana gue bisa lupa? Lo pelanggan paling bawel yang pernah ada," goda Bima sambil duduk di sampingnya.

Mereka tertawa. Ada jeda sunyi yang nyaman setelah itu.

"Bima..." suara Lia pelan.

"Hm?"

"Lo pernah mikir buat pergi dari sini?" tanya Lia tanpa menoleh.

Bima menggeleng. "Gue nggak punya alasan buat pergi. Semua yang gue cari, ada di sini."

Lia menatapnya. Kali ini, lebih lama dari biasanya. Ia tahu, mungkin ia butuh waktu lebih lama untuk benar-benar memahami perasaannya sendiri. Tapi malam itu, untuk pertama kalinya, ia merasa tak ingin kehilangan Bima.

"Tetap di sini, ya," bisik Lia.

"Selalu," jawab Bima mantap.


Di pagi yang cerah, Lia, Pak Surya, dan Bima berdiri di depan kedai. Di atas pintu, logo baru tergantung dengan bangga: sebuah desain yang menggabungkan secangkir kopi tradisional dengan coretan tangan khas Lia.

"Ayo, kita mulai hari baru," ajak Pak Surya.

Lia dan Bima mengangguk bersamaan.

Di dalam hatinya, Lia tahu hidupnya baru saja dimulai—dengan secangkir kopi dan harapan yang baru.

-TAMAT-



Endik Koeswoyo
Endik Koeswoyo Scriptwriter. Freelance Writer. Indonesian Author. Novel. Buku. Skenario. Film. Tv Program. Blogger. Vlogger. Farmer

Posting Komentar untuk "Secangkir Kopi dan Harapan untuk Ayah - Oleh; Endik Koeswoyo"


Endik Koeswoyo

SimpleWordPress

 

SimpleWordPress